DINAMIKA kehidupan sosial dan politik kita saat ini ada di era post-truth, kata yang viral sejak tahun 2016 yang dikontruksi dan didokumentasikan oleh Oxford Dictionaries. Era ini menggambarkan daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan fakta yang sebenarnya.
Post-truth juga berpengaruh terhadap dinamika politik bangsa menjelang pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tahun ini. Kedua momen ini kental diwarnai sifat-sifat destruktif: saling nyinyir, saling memfitnah, saling menghujat dan masih banyak lagi yang diniatkan untuk mendekonstruksi lawan demi meraih keuntungan politik.
Politik di era post-truth, lebih banyak ditandai oleh para aktor dan simpatisan politik yang lebih mendahulukan perasaan dan emosi dibandingkan fakta objektif yang sesungguhnya. Termasuk pendapat grup afiliasi yang dianggap lebih benar bahkan dianggap "mutlak benar" daripada pendapat yang di luar kelompok afiliasinya.
Selanjutnya rasionalitas dan kebenaran memudar oleh sensasi emosi kepentingan dan afiliasi partai dan golongan. Hal itu ditunjang informasi yang sangat mudah menyebar di internet dan mudah diakses oleh pemilik ponsel cerdas di seluruh penjuru Indonesia, bahkan dunia.
Penguasaan informasi sebagai sebuah komoditas berharga saat ini konfigurasinya berubah total. Dulu, sebelum ada media sosial, kekuasaan atas informasi dipegang hanya pihak-pihak tertentu saja, yaitu pemerintah, elite, dan pers. Hadirnya media sosial nyaris membuat semua orang bisa menguasai dan menyebarkan informasi.
Laporan keuangan tahunan Facebook 2018 menyebutkan, pengguna platform tersebut mencapai 2,32 miliar per Desember 2018 dengan peningkatan sebesar 9 persen year-on-year (yoy).
Ini belum menghitung pengguna Instagram, WhatsApp, dan Messenger yang merupakan bagian dari keluarga Facebook. Setidaknya lebih dari dua miliar orang secara rata-rata menggunakan salah satu layanan Facebook tersebut setiap hari.
Melimpahnya informasi bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi positifnya mampu menghadirkan transparansi yang dapat mencegah seseorang atau sesuatu pihak untuk berbuat semena-mena. Informasi positif juga berguna bagi media edukasi dan silaturahmi.
Namun, sisi negatifnya berpotensi menimbulkan masalah besar, yaitu hilangnya filter yang dapat menahkikkan (memverifikasi) kebenaran informasi yang dipublikasikan. Fakta dan fiksi sulit dibedakan karena kedua-duanya bisa direkayasa.
Era digital berpotensi besar menghadirkan ancaman baru yang terkait masifnya penyebaran disinformasi di media sosial. Dengan dampak ikutannya berupa disinformasi yang sengaja disebar untuk membingungkan orang lain.
Banyak motif penyebaran disinformasi, tidak hanya keuntungan finasial, tetapi juga dapat dikapitalisasi menjadi semacam industri disinformasi seperti kasus Saracen, yang memproduksi fitnah dan ujaran kebencian sesuai kehendak pemesannya secara masif.
Disinformasi dalam praktik politik kalau dibiarkan juga dapat merusak demokrasi. Informasi fitnah dan hate speech (ujaran kebencian) dalam praktik demokrasi hakikatnya adalah kejahataan demokrasi. Ini berpotensi menghilangkan kedaulatan rakyat karena praktik manipulasi dan dapat mengantarkan orang yang tidak dikehendaki menjadi penguasa.
Disinformasi menjelang Pilpres dan Pileg 2019 marak digunakan yang merupakan perilaku tidak etis seseorang untuk memenangi sesuatu dengan kebohongan yang diperbuatnya untuk mendapat simpati dan memanfaatkan situasi masyarakat yang emosional dan kemudahan penyebaran melalui media sosial.
Bagi banyak orang, dunia maya dianggap sama atau setidaknya beda tipis dengan dunia nyata. Bahkan fenomena maraknya hoax atau fake news atau berita bohong di media sosial digenapi dengan keriuhan orang untuk bersaing mengklaim kebenaran.
Bahaya disinformasi bisa berakibat sangat mengerikan, di mana orang bisa saling mencederai atau membunuh, dapat membuat suatu negara mengalami disintegrasi dan perang saudara, umat bisa terpecah-belah gara-gara disinformasi.
Disinformasi adalah fitnah. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan karena pembunuhan yang terjadi karena disinformasi memakan banyak korban orang-orang yang bisa jadi adalah orang tidak bersalah.
Berita bohong menyebar jauh lebih cepat dari berita akurat. Penelitian yang dilakukan Massachusetts Institute of Technology menunjukkan informasi palsu atau berita bohong lebih cepat menyebar di Twitter dibandingkan informasi yang benar atau akurat.
Penyebar disinformasi pada hakikatnya adalah orang yang mengalami gangguan psikologis, yang memiliki kepuasan dengan menyebarkan fitnah dan kebencian. Mereka cara gemar memberi komentar-komentar nyeleneh di luar topik dengan cara provokatif dan fitnah untuk memunculkan kemarahan.
Menurut pakar komunikasi, Jalaluddin Rahmat, teknik kampanye atau propaganda dengan menyebarkan kebencian lebih efektif daripada menyebarkan cinta kasih. Dengan kata lain, dengan menambahkan bumbu kebencian dalam sebuah cerita akan membuat cerita itu semakin viral.
Lebih lanjut, menurut pandangannya, hal ini karena kebencian membuat otak manusia menjadi bersifat "reptilian" (menggebu-gebu, agresif), sehingga semakin mereka menerima berita berbumbu kebencian, semakin marah, dan semakin viral-lah berita itu.
Hal tersebut sejalan dengan teknik propaganda yang pernah diajarkan Anatoly Lunacharsky, tokoh Uni Soviet, "Singkirkan cinta, yang diperlukan untuk menguasai dunia adalah kebencian."