JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodawardhani melihat isu kembalinya dwifungsi TNI tidak lepas dari kepentingan politik menjelang pemilihan umum 2019.
Ada pihak-pihak yang ingin memengaruhi persepsi di masyarakat bahwa pemerintahan Jokowi- Jusuf Kalla ingin mengembalikan dwifungsi TNI seperti zaman Orde Baru.
"Pastilah (ada kepentingan politik). Karena saat berbicara soal dwifungsi TNI, itu kan semacam mengembalikan ingatan kita ke masa lalu dan bagi aktivis HAM, pasti khawatir," ujar Jaleswari saat berbincang dengan wartawan di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Baca juga: Moeldoko Pastikan Tidak Akan Ada Dwifungsi TNI
Meski demikian, Jaleswari menampik apabila disebutkan para aktivis hak asasi manusia dan pro demokrasi lah yang menjadi aktor-aktor bergulirnya isu tersebut. Ia enggan menyebutkan rinci siapa yang dimaksud.
Mengenai suara para aktivis, ia lebih melihat ada kesalahpahaman yang mesti diluruskan oleh pemerintah.
Ia melihat, para aktivis berpendapat indikasi kembalinya dwifungsi TNI ditandai dengan rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Menurut Jaleswari, itu adalah pemahaman yang keliru.
Baca juga: Moeldoko: Jangan Lihat Tentara dari Frame Masa Lalu
"Rencana merevisi UU TNI yang kemudian diberi cap bahwa itu adalah kembalinya dwifungsi, itu sama sekali tidak benar. Salah," ujar dia.
Ia menilai, para aktivis salah memahami karena hanya mendasarkan argumentasinya itu kepada rencana revisi Pasal 47 UU TNI semata.
Diketahui melalui revisi, Pasal 47 itu akan mengatur mengenai prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada sejumlah instansi, antara lain, kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Disebutkan pula bahwa revisi itu bertujuan mengakomodasi perwira menengah dan perwira tinggi agar dapat berdinas di lembaga negara di luar yang telah diatur menurut Pasal 47 ayat 2.
Baca juga: Moeldoko: Jangan Lagi Cari Gara-gara dengan TNI
Padahal, lanjut Jaleswari, pemerintah merevisi UU TNI juga didasarkan pada Pasal 7 UU TNI, yakni pasal yang mengatur tugas pokok TNI, antara lain operasi militer untuk perang (OMP), operasi militer selain perang (OMPS), mengatasi gerakan separatis, dan mengatasi aksi terorisme.
Lalu, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung secara dini dengan sistem pertahanan semesta, mengamankan wilayah perbatasan, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan dan lain-lain.
"Tolong bacalah Pasal 7. Karena di Pasal 7 di operasi militer selain perang yang adanya 14 item itu mengatakan dengan jelas TNI bisa dideploy untuk urusan perbatasan, SAR, terorisme, dan lain-lain," ujar Jaleswari.
Artinya, kata dia, penempatan TNI aktif pada instansi yang disebutkan pada revisi Pasal 47 sangat relevan untuk dilaksanakan.
Apalagi, lanjut Jaleswari, ketika UU TNI dirancang dan disahkan tahun 2004, belum ada lembaga misalnya Kementerian Koordinator Bidang Maritim, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Keamanan Laut dan sebagainya yang membutuhkan pejabat struktural dengan latar belakang TNI.
"Karena terus terang, saya melihat langsung koordinasi tidak mudah bagi TNI. Misalnya TNI yang sudah pensiun bintang dua (memimpin sebuah institusi) harus menggerakkan atau harus berkoordinasi dengan Panglima TNI misalnya, itu di kultur TNI sulit sekali," ujar dia.
"Jadi, sekali lagi kita harus cermat dalam melihat pasal per pasal sekaligus kaitannya satu dengan lainnya agar kita jangan sampai memberikan stempel itu tadi, dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI kembali itu mimpi di siang bolong," lanjut Jaleswari.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa rencana revisi UU TNI ini bukanlah sepihak ada pada pemerintah saja.
Nantinya, revisi juga akan melibatkan DPR RI. Oleh sebab itu, ia menegaskan, tak mungkin ada proses yang luput dari pengawasan publik.
"Dan yang terpenting lagi, ini adalah masih berproses, belum final. Akan berproses pun nantinya akan dibicarakan di DPR. Enggak mungkin ada sesuatu di bawah mata, diam-diam," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.