Apalagi kaum cerdik pandai dan agamawan yang selama ini menjadi benteng nalar dan moral justru ikut bermain dalam membuat atau menyebarkan berita bohong.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjaga nalar tetap cerdas dan waras?
Kesepakatan global untuk menangkal aneka kabar bohong menempatkan berpikir kritis berada pada urutan pertama.
Tahun 1990 pakar manajemen Peter M Senge sudah mengampanyekan perlunya berpikir kritis untuk menyikapi aneka perubahan.
Berpikir kritis model Senge ada dua hal utama: (a) Jangan melihat potret sebagian; lihatlah proses keseluruhan. (b) Jangan melihat sebab-akibat satu arah; lihatlah sebab-akibat antar-bagian.
Secara sederhana implementasi berpikir kritis ini adalah, jika kita mendapat kabar, info, berita atau apa pun namanya yang bombastis dan membuat pikiran berkerut, maka kita wajib untuk mengetahui dari mana sumber berita tersebut. Wajib mencari dan membandingkan dengan berita-berita lainnya.
Kita memotret berita tersebut dari berbagai sudut sehingga memberi kesempatan kepada nalar untuk membuat kesimpulan, berita ini benar atau bohong.
Kedua, berpikir kreatif. Pengertian dari kreativitas adalah proses penciptaan gagasan dan konsep. Ia berada pada level ide atau imajinasi (pikiran). Kreativitas merupakan induk dari inovasi karena inovasi tak lain proses perwujudan ide-ide kreatif sampai menghasilkan nilai tambah.
Inovasi berada pada level praktik dan nyata. Alhasil inovasi selalu dimulai dengan kreativitas.
Manusia kreatif selalu mengasah diri dengan hal-hal baru. Berkelindan dengan kritis, ia selalu mempertanyakan dan membuat alternatif jawaban.
Nalar sebagai perkakas manusia memperoleh asupan gizi manakala si manusia tersebut kreatif. Kabar bohong, berita miring, info palsu bisa ditangkal dengan kreativitas.
Ketiga, berpikir sistem. Oleh Peter Senge berpikir sistem diartikan sebagai sebuah disiplin (metoda) pemecahan masalah organisasi dengan memanfaatkan perilaku sistem.
Jika berpikir linier lebih melihat ada pohon di hutan, maka berpikir sistem adalah melihat keseluruhan isi hutan, di mana salah satu isi itu tak lain pohon. Hal ini menandakan bahwa berpikir sistem merupakan ketrampilan untuk memahami struktur hubungan antar berbagai faktor.
Ketika ada tokoh mengabarkan ia dianiaya orang tidak dikenal, dengan metode berpikir sistem kabar itu mudah dipatahkan kebenarannya.
Waktu kejadian, rumah sakit yang menjadi rujukan pertama yang didatangi sehabis ia dianiaya dan kemudian ia bersama tokoh lain ramai-ramai menggelar konferensi pers, secara sistem tidak nyambung.
Ada lompatan yang melanggar sistem. Menjadi wajar dalam waktu tidak terlampau lama, kabar bohongnya bisa diketahui orang lain.
Keempat, berpikir bijak. Dalam konteks ini bijak lebih diartikan pada kedewasaan untuk memilih dan memilah informasi. Pun bijak untuk memproduksi dan menyebarkan informasi.
Apabila menerima informasi yang berpotensi menimbulkan konflik, dengan bijak informasi tersebut cukup diputus sampai diri sendiri, bukan untuk disebarkan. Bijak bermedia sosial ternyata merupakan bentuk “spiritualitas” baru dalam bermasyarakat.
Nalar 4.0 yang terdiri dari berpikir: kritis, kreatif, sistem dan bijak tak lain perkakas untuk menghadapi banjir bandang informasi. Sebuah banjir yang berkelindan antara informasi benar dan bohong. Dengan nalar 4.0 informasi benar menjadi relevan, informasi bohong menjadi usang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.