Pada tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, BNPB dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah, lembaga terkait dan masyarakat untuk menyusun kebutuhan, perencanaan dan koordinasi pelaksanaan serta evaluasi.
Ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui jenis kegiatan, biaya yang dibutuhkan dan pihak yang mungkin dapat dilibatkan.
Besarnya dana bantuan yang masuk ke Aceh baik dari nasional maupun internasional dikoordinasikan oleh Badan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (BRR), sehingga peruntukannya jelas dan tidak tumpang tindih, kendati pelaksana programnya adalah organisasi masyarakat sipil.
Dengan demikian, yang dilakukan pascagempa semua terencana dan satu tujuan, minim konflik kepentingan.
Pada sisi lain, proses penanggulangan bencana tidak dilakukan dalam ruang hampa dan bebas nilai, terlebih di momen tahun politik yang rentan untuk dimanfaatkan.
Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk memiliki pemahaman konteks sosial, ekonomi, politik, budaya lingkungan dan masyarakat lokal.
Dalam penanganan bencana di Yogyakarta, lembaga Kemitraan memfasilitasi pembentukan Forum Yogya Bangkit (FYB) sebagai media komunikasi dan kerja sama antarpemerintah dengan masyarakat.
Salah satu fungsi mereka adalah advokasi kebijakan dalam pengelolaan bencana di Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta melakukan pendampingan kepada korban untuk memastikan bantuan merata diterima semua.
Poin-poin tersebut menjadi penting bagi pemerintah untuk segera dilakukan pembenahan, agar bencana yang terjadi di Indonesia dapat dihadapi dengan korban yang diminimalisasi.
Berdasarkan cerita dari Aceh dan Yogyakarta, tahapan penting lain yang harus dilakukan selain membangun sistem penanggulangan bencana yang komprehensif, penting juga membangun kesadaran kolektif masyarakat bahwa kita berada di wilayah rawan bencana, salah satunya dengan cara melestarikan pengetahuan.
Kabupaten Simeulue, Aceh, yang menjadi titik paling dekat dengan pusat gempa dan berpotensi terdampak tsunami terparah pada tahun 2004 lalu justru korbannya sangat kecil, hanya 7 orang meninggal.
Salah satu faktor penyebabnya adalah masyarakat memiliki cerita rakyat yang disampaikan kepada anak cucu secara turun-temurun, di mana disebutkan jika melihat air laut surut, maka lari ke gunung.
Istilah tsunami juga telah dikenal oleh masyarakat Aceh dan Nias dengan sebutan "ie beuna". Dengan kata lain mereka sudah mengenal istilah bencana sejak lama, hanya karena pengetahuan itu tidak lagi hidup di lingkungan, maka ketika tanda-tanda bencana datang, mereka cenderung tidak sesiap warga Simeulue.
Banyak cerita lokal yang mengandung pesan kepada masyarakat untuk waspada terhadap bencana, dengan bahasa dan pendekatannya masing-masing, termasuk di Palu yang mengenal bencana likuifaksi dengan nama lokal.
Sebagai wilayah dengan potensi bencana yang sangat besar, nenek moyang kita punya cara berdamai dan menjadikan Indonesia masih ada.
Sudah saatnya pemerintah dan seluruh elemen masyarakat menghidupkan kembali pengetahuan di masing-masing wilayah.
Salah satu cara dengan mengemasnya kedalam informasi sederhana, di sebar pada laman media sosial mengikuti perkembangan zaman.
Selain itu, perlu juga menjadi bagian dari kurikulum pendidikan yang secara terus-menerus diajarkan sebagai persiapan kepada generasi selanjutnya agar dapat berdamai dengan bencana.
Kedua capres memiliki komitmen besar untuk menghadirkan negara dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat, semoga komitmen serupa juga terjadi di isu kebencanaan. Karena, negara harus hadir untuk memastikan penanggulangan serta melestarikan pengetahuan seputar bencana tetap ada di tengah masyarakat Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.