Masalah pembangunan infrastruktur dan impor pangan juga menghangat jelang debat pilpres kedua. Kedua hal ini turut diperdebatkan pada panggung Satu Meja The Forum, Rabu (13/2/2019).
Pembangunan agresif infrastruktur yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang tidak terjadi pada masa-masa pemerintahan sebelumnya, khususnya jalan tol, diklaim tidak tepat oleh kubu penantang.
Beban utang yang meningkat drastis untuk pembangunan infratrustur, multiplier effect yang tidak muncul dari pembangunan infrastruktur, penggunaan tenaga kerja asing pada proyek infratrustur, nilai proyek yang kemahalan, masalah alih fungsi lahan produktif untuk pembangunan jalan tol, hingga mahalnya tarif yang dikenakan kepada pengguna jalan tol mendapat kritik bertubi-tubi dari kubu penantang.
Pembangunan infrastruktur oleh pemerintah dinilai tidak mampu memicu perekonomian, bahkan sebaliknya. Walhasil, pertumbuhan ekonomi tidak mampu mencapai angka 6 persen. Pemerintah, kata oposisi, seharusnya menggunakan cara lain dalam membangun infrastruktur tanpa berutang yang pada akhirnya tidak membebani rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam berbagai kesempatan menjelaskan bahwa utang pemerintah masih berada dalam batas kemampuan dan kewajaran. Utang tersebut dikelola dengan prinsip kehati-hatian dan diperuntukkan bagi investasi yang bersifat produktif seperti pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur sendiri bukan merupakan investasi yang bisa langsung menghasilkan, namun dampaknya positifnya akan dirasakan dalam jangka panjang. Percepatan pembangunan infratruktur, menurut Sri Mulyani, tidak akan bisa terlaksana tanpa utang.
Pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi seharusnya memiliki hubungan timbal balik. Pembangunan infrastruktur menimbulkan ekspansi ekonomi melalui efek multiplier.
Sementara ekspansi ekonomi menimbulkan kebutuhkan akan pengembangan infrastruktur untuk menyerap aliran barang dan manusia yang bersirkulasi dalam perekonomian.
Hal lainya yang tak kalah sengit diperdebatkan adalah masalah impor pangan. Kubu oposisi bahkan memberi gelar rezim impor kepada pemerintahan Jokowi.
Pemerintah, kata oposisi, bukan hanya gagal merealisasikan janjinya untuk swasembada pangan, namun juga tak mampu menyetop impor pangan yang diperkirakan akan terus berlangsung hingga akhir periode pemerintahan Jokowi.
Kebijakan ini pun memunculkan kecurigaan adanya kekuatan yang mengendalikan kebijakan impor, yang menikmati gurihnya keuntungan dari permainan impor.
Kubu petahana beralasan impor dilakukan untuk menjaga stok pangan demi menstabilkan harga pangan.
Produksi pangan hingga kini diakui belum mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Penyebabnya, konversi lahan pertanian sebanyak 30 persen membuat produksi pangan dalam negeri turun dengan persentase yang sama.
Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Johnny G Plate, mengakui permasalahan konversi lahan terkuak dalam rapat kabinet. Di atas kertas, lahan pertanian seakan bertambah, namun di lapangan tidak. Karena itu lah diputuskan untuk mengimpor.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.