JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Prabowo Subianto mundur dari Pilpres 2019 dinilai hanya gimik politik belaka. Sebab, ada risiko cukup besar jika Prabowo benar-benar batal jadi calon presiden.
"Itu gimik politik. Itu tentu warning. Gertak sambal dari teman Prabowo bahwa KPU, Bawaslu jangan sampai berpihak, tidak netral," kata pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno saat dihubungi, Rabu (16/1/2019).
Baca juga: Kritik Prabowo Dinilai Miskin Solusi
Pernyataan Prabowo akan mundur sebelumnya disampaikan Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, Djoko Santoso. Menurut mantan Panglima TNI itu, Prabowo akan mundur jika kecurangan dalam pemilu tak bisa dihindari.
Namun, Adi meyakini KPU dan Bawaslu tidak akan melakukan kecurangan di era teknologi informasi seperti sekarang.
"Arus informasi semakin bebas diakses, semua orang bisa mempletototi proses pemilu, saya kira netralitas KPU dan Bawaslu cukup telanjang ya untuk bisa dinilai. Beda dengan zaman dahulu," tegas Adi.
Baca juga: Membaca Gaya Prabowo dalam Pidato Kebangsaan...
Oleh karena itu, Adi meyakini Prabowo tidak akan mundur dari kontestasi Pilpres karena sanksinya sudah jelas diatur dalam UU.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melarang pasangan calon untuk mengundurkan diri.
Pasal 236 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bakal pasangan calon dilarang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU.
Baca juga: Penjelasan BPN Prabowo-Sandi DIY soal Lagu Jogja Istimewa Diubah untuk Capres
Jika masih bersikeras untuk mengundurkan diri maka sanksi pidana dan denda menanti pasangan calon bersangkutan dalam Pasal 552 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 setiap calon Presiden atau Wakil Presiden dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp 50 juta.