JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Noory Okthariza menilai kedua pasangan calon presiden dan calon presiden, yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, punya PR besar dalam memberantas radikalisasi online.
Sebab, kata dia, saat ini penyebaran paham radikal yang banyak berujung aksi teror masih belum bisa dibendung oleh pemerintah.
"Kalau untuk penanganan langsung, nangkepin orang, jeblosin orang itu sudah bagus. Kita sudah jadi panutan negara lain dalam penanggulangan terorisme," kata Okta saat ditemui di Kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Baca juga: PP Muhammadiyah Minta Agar Istilah Radikalisasi Dihapus di RUU Antiterorisme
"Tapi menurut saya ini harus diperhatikan oleh Capres dan Cawapres. Bagaimana mengatur konten-konten yang dianggap berpotensi terpapar ideologi radikal," lanjut Okta.
Ia mengatakan, saat ini tren radikalisasi justru terjadi melalui konten-konten media sosial dengan menyasar individu.
Hal ini berbeda dengan masa lalu dimana radikalisasi berlangsung melalui proses kaderisasi kelompok yang membentuk berbagai jaringan kelompok teror.
Baca juga: Ini Cara Cegah Anak Terpapar Radikalisasi Versi BNPT
"Kita melihat dulu, tren sekarang berubah. Kalau dulu jaringannya kelihatan, kalau sekarang kecendrungannya orang bisa teradikalisasi secara individu, tanpa terikat jaringan kelompok," papar Okta.
"Konten-konten radikal yang membuat orang jadi terpapar itu belum (diberantas). Ini yang perlu satu ditekankan (masing-masing kandidat)," lanjut dia.
Diberitakan sebelumnya debat Pilpres terdiri dari lima rangkaian. Debat pertama yang bertemakan pemberantasan korupsi dan terorisme serta penegakan hukum dan HAM akan berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019) mendatang.