HINGGA saat ini, praktik money politics atau politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum masih menjadi musuh utama demokrasi.
Semangat gerakan tolak money politics yang kerap disuarakan oleh jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada tahapan kampanye, masa tenang, hingga proses pemungutan dan penghitungan suara seakan menjadi kian berarti tatkala dilemahkan oleh regulasi aturan perundang-undangan.
Berdasarkan laporan Bawaslu pada 2018, hasil pengawasan pada Pemilihan Kepala Daerah 2018 memperlihatkan adanya indikasi politik uang sebanyak 535 kasus di tahapan kampanye.
Adapun pada tahapan masa tenang, ditemukan adanya 35 kasus yang tersebar di 10 provinsi. Pada proses pemungutan dan penghitungan suara, terdapat 2 kasus praktik politik uang yang terjadi di satu provinsi dan satu kabupaten.
Meski demikian, perlu kita akui bahwa potensi pelanggaran money politics yang terjadi pada Pilkada 2018 cenderung menurun dibandingkan dengan Pilkada 2015 dan 2017. Mengapa demikian?
Selain strategi pencegahan maksimal yang dilakukan oleh Bawaslu, juga melihat sisi aturan regulasi UU Pemilihan terhadap aktor money politics lebih kuat dan ketat.
Aturan pilkada 2018 menyebutkan bahwa pemberi dan penerima bila terbukti melakukan money politics dikenakan sanksi pidana. Biaya transpor peserta kampanye pun harus dalam bentuk voucer tidak boleh dalam bentuk uang.
Hal itu berbeda dari Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU Pemilu tersebut, untuk kasus money politics, Pasal 284 menyebutkan, "Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, memilih Pasangan Calon tertentu, memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu, sesuai dengan Pasal 286 hanya dijatuhkan sanksi administrasi."
Di samping itu, UU Pemilu ini membolehkan pemberian biaya uang makan/minum, biaya uang/transpor, biaya/uang pengadaan bahan kampanye kepada peserta kampanye pada pertemuan terbatas dan tatap muka peserta pemilu. Hal ini berdasarkan pada lampiran Pasal 286 UU Pemilu tidak termasuk pada kategori materi lainnya.
Selanjutnya, pada aturan bahan kampanye tercantum pada Peraturan KPU 23 Tahun 2018 Pasal 30, nilai setiap bahan kampanye apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp 60.000. Padahal, ketika Pilkada 2018, nilai bahan kampanye apabila dikonversikan paling tinggi Rp 25.000.
Ini artinya kita bisa melihat bahwa ternyata UU Pemilu ini memiliki kelemahan dalam menjerat perilaku money politics bila dibandingkan dengan UU Pilkada.
Ada banyak celah yang bisa dilakukan oleh peserta pemilu untuk memengaruhi pemilih. Dengan dibolehkannya pemberian biaya transpor, makan minum kepada peserta kampanye pun tampaknya pengawas pemilu di lapangan akan sulit untuk membedakan mana cost politic dan money politics apalagi pemilih.
Bagi mereka, ketika diberi sejumlah uang oleh peserta pemilu, pola pikirnya adalah untuk memilih calon yang bersangkutan.
Barangkali dapat dihitung berapa persen di antara peserta kampanye yang hadir dalam pertemuan terbatas atau tatap muka dan paham terhadap regulasi aturan perundang-undangan?
Tidak hanya itu, ketika nilai bahan kampanye menjadi naik dari aturan undang-undang sebelumnya, maka akan membuat peserta pemilu berlomba-lomba mengumpulkan dana kampanye yang tinggi.