Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saling Sindir di Pilpres Dinilai karena Miskinnya Adu Program

Kompas.com - 14/11/2018, 10:36 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk memandang, rangkaian sindiran yang dilontarkan kubu calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bukti rendahnya wacana adu program.

"Ini menurut saya terjadi di tengah miskinnya wacana adu program sebenarnya. Karena yang namanya kampanye politik emang adu wacana, secara prinsip. Tapi publik harus dipenuhi wacana yang baik," kata Hamdi kepada Kompas.com, Rabu (14/11/2018).

Hamdi menjelaskan, dalam proses legimitasi dan delegitimasi kontestan politik seharusnya berbasis pada gagasan, program, dan ideologi.

Menurut dia, sudah sepatutnya kontestasi Pilpres di Indonesia dibawa ke arah yang lebih baik lagi.

"Harusnya yang elegan itu usaha political legitimation dan delegitimation itu berbasis gagasan program, atau ideologi, platform, gitu loh. Kalau negara maju kan orang bicara ideologi dan platform. Di kita itu enggak ada. ini penyakit demokrasi kita," kata Hamdi.

Para kandidat dan tim pemenangan dinilainya menjadi lebih mudah terpancing dengan sindiran. Sehingga mereka mengesampingkan politik adu gagasan dan program.

Hamdi mencontohkan, pernyataan Jokowi soal politisi sontoloyo dan politik genderuwo muncul akibat serangan dari kubu Prabowo-Sandiaga.

Kubu pesaing, kata dia, seringkali melontarkan sejumlah kalimat yang menakut-nakuti bahkan tak berbasis data dan argumentasi yang kuat.

"Ini akhirnya disinyalir oleh Jokowi, wah cara begini nih jauh dari kesantunan dan keadaban, ini politisi sontoloyo ini, kan gitu. Ada aksi reaksi. Karena Jokowi kan capek juga terus-terusan jadi korban dengan cara yang tidak beradab itu," kata Hamdi.

"Terus nyerang lagi, keluar lagi kalau politik yang isinya nakut-nakutin, Indonesia bubar, 99 persen semua orang susah, negara krisis, semua kekayaan keluar, asing sudah masuk, keamanan tidak terjamin, dia (Jokowi) pancing lagi metafor Genderuwo," kata Hamdi.

Jika situasi ini dibiarkan, kata Hamdi, akan semakin mempertajam potensi konflik di masyarakat.

Di sisi lain, Hamdi juga mengkritik kubu pesaing yang tak menawarkan gagasan dan program alternatif yang kuat.

Menurut dia, kubu pesaing seharusnya bisa mencari celah kelemahan lawan dan menawarkan gagasan berbasis argumentasi dan data yang kuat.

Hal itu untuk menghadirkan perlawanan yang sehat kepada petahana yang mengandalkan pencapaian kerja.

"Dikritik langkah yang dilakukan petahana, diperlihatkan di mana bolongnya, dan dicarikan alternatif dan solusi yang betul-betul masuk akal, akurat dengan argumentasi yang kuat. Nah, tampaknya ini yang gagal," kata dia.

"Datanglah dengan gagasan yang menyentak, fresh original dan menawarkan alternatif dan mengguncang, gitu kan. Kalau gagal di situ, ya repot. Petahana malah bisa melenggang," lanjutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com