Dangkalnya literasi Pancasila sangat disayangkan karena konsepsi hubungan agama dan negara menurut dasar negara sangat strategis baik bagi umat beragama maupun kalangan nasionalis.
Konsepsi tersebut merujuk pada hubungan toleransi kembar di mana negara dan agama saling menjaga jarak, sekaligus mendukung di ranah masing-masing. Negara melindungi kebebasan beragama dan memfasilitasi kehidupan sosialnya.
Sementara itu, agama menguatkan negara melalui pengembangan etika politik yang mendukung keadaban publik. Persis seperti ditegaskan Imam al-Ghazali: Negara dan agama merupakan saudara kembar. Salah satunya tak bisa hidup, tanpa lainnya.
Agama menjadi dasar bagi masyarakat dan negara melindunginya. Keselarasan antara konsepsi Pancasila dan Islam juga terdapat pada desain politik yang diawali transendensi (ketuhanan) dan diakhiri transformasi (keadilan sosial).
Inilah alasan Kuntowijoyo (1991) menyebut demokrasi Pancasila sebagai teo-demokrasi: demokrasi berketuhanan.
Di dalam desain ini, makna politik menurut Islam dan Pancasila bertemu dalam satu kata: keadilan sosial.
Namun, pemahaman yang kurang lengkap mengenai Pancasila acapkali terjadi, begitu juga terhadap agama, utamanya Islam.
Gerakan radikalisme yang berujung pada terorisme merupakan momok mengerikan karena telah membuat citra Islam lekat dengan agama teror yang menyukai jalan kekerasan.
Celakanya, eskalasi gerakan ini bukan makin surut, namun justru kian meningkat. Hasil survei Wahid Institute 2017, misalnya, menyebutkan bahwa 0,4 persen atau 600.000 penduduk Indonesia pernah bertindak radikal. Adapun 7,7 persen atau 11 juta orang berpotensi bertindak radikal.
Tak hanya itu, survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2017 juga menyebutkan bahwa 39 persen mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia terindikasi tertarik pada paham radikal.
Data ini menunjukkan bahwa radikalisme merupakan persoalan serius yang perlu mendapat perhatian khusus.
Karena itu, dalam konteks mengatasi gerakan radikalisme, pemahaman ihwal pentingnya memperkokoh komitmen Islam kebangsaan perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan.
Islam kebangsaan merupakan Islam yang memiliki semangat cinta tanah air (hubbul wathon).
Sejarah mencatat, Islam kebangsaan telah menjadi kekuatan fundamental dalam upaya melawan kolonialisme. Islam kebangsaan mempererat tali persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathoniyah).
Dalam bahasa Prof Dr (HC) KH Ma'ruf Amin, Islam kebangsaan adalah Islam yang menerima kemajemukan.
Bingkai kemajemukan yang dimaksud di sini harus bersifat politis-yuridis dan teologis. Bingkai politis-yuridis adalah kebijakan tentang bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila sebagai falsafah bangsa, dan UUD 1945 sebagai konstitusi negaranya. Artinya, keputusan politik para pendiri bangsa merupakan konsensus nasional.
Adapun bingkai teologis untuk mewujudkan integrasi nasional yang kokoh. Bingkai teologis ini menjadi perekat sekaligus pemahaman kepada seluruh elemen masyarakat tentang begitu pentingnya menjaga integrasi bangsa ini secara bersama-sama, dalam upaya menjaga keutuhan dan kesatuan nasional, baik kaitannya dengan NKRI maupun dengan Pancasila.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.