Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/09/2018, 19:02 WIB
Mela Arnani,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Baru-baru ini, masyarakat dihebohkan dengan kasus suap tentang pembahasan APBD Pemerintah Kota Malang.

Kasus tersebut menyeret 43 orang pejabat pemerintah, terdiri dari dua pejabat eksekutif pemerintah dan 41 anggota DPRD Kota Malang.

Bukan hanya sekali ini, rentetan kasus korupsi sering muncul di sistem pemerintahan kita.

Anehnya, tak ada rasa malu dari beberapa pelaku kasus korupsi ini. Bahkan, mereka terlihat cengar-cengir, melebarkan senyum, tetap tenang, dan tidak ada rasa malu yang muncul dari dirinya.

Psikolog politik Hamdi Muluk mengatakan, sikap yang ditunjukkan para koruptor tersebut disebabkan belum adanya etika publik yang terbentuk dengan baik.

Etika publik yang dimaksud di sini adalah munculnya rasa malu dan bersalah dari dalam diri politikus jika mereka melakukan kesalahan kepada publik, seperti korupsi atau penyalahgunaan wewenang.

"Kalau etika (publik) tinggi, itu ada dua perasaan yang ditimbulkan. Satu (perasaan) malu, dua (merasa) bersalah karena mengkhianati kepercayaan publik," kata Hamdi kepada Kompas.com, Sabtu (8/9/2018).

Baca juga: Pimpinan DPR Minta MA Segera Putuskan soal PKPU Larangan Caleg Eks Koruptor

Perilaku ketika seseorang merasa bersalah, menurut Hamdi, akan ditunjukkan dengan diam, menunduk malu, menutupi wajahnya, tidak mau membuka suara, bahkan menghindar.

"Kalau cengar-cengir semakin tidak ada rasa malu tersebut," ujar Hamdi.

Hamdi menyampaikan, menjadi seorang legislator itu berarti seseorang siap menjadi abdi negara.

"Kalau menurut kajian, teori, prinsip, orang yang menjadi legislator itu adalah orang yang sudah selesai dengan urusan dirinya sendiri," ucap Hamdi.

"(Mereka) tidak lagi cari duit, dia ingin mengabdikan dirinya dan ujungnya menjadi negarawan," kata dia.

Keadaan politik Indonesia

Karut-marut kedaan politik saat ini, menurut Hamdi, salah satunya disebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh seorang calon legislator ketika ia ingin mendapatkan jabatan di pemerintahan.

"Ketika dia (calon legislator) maju, di depan jor-joran (menyogok) atau dari partai ia beli uang untuk mendapatkan kursi. Sampai di daerah pilihan (dapil) ia main money politic," kata Hamdi.

Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Hamdi MulukKahfi Dirga Cahya Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Hamdi Muluk
Kemudian, biaya yang dikeluarkan oleh calon legislator tersebut akan ditebus ketika mereka terpilih menjadi wakil rakyat.

Halaman:


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com