JAKARTA, KOMPAS.com – Di Indonesia, istilah ‘sumbu pendek’ digunakan untuk menyebut kalangan netizen yang mudah termakan isu dan terprovokasi tanpa mencari tahu kebenaran tentang suatu persoalan.
Istilah ini mengacu pada sumbu di kompor minyak yang akan mudah terbakar jika tali sumbu sebagai penyalur bahan bakarnya berukuran pendek.
Artinya, tanpa melalui proses kapilaritas memadai, api dalam sekejap langsung menyala di sebuah kompor.
Jika diimplementasikan pada kondisi saat ini, "sumbu pendek" dipahami sebagai seseorang yang menyerap informasi tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu dan mudah terpancing.
Selanjutnya, biasanya, si "sumbu pendek" akan menyebarluaskan informasi itu yang bisa memancing orang lain melakukan hal yang serupa.
Hal ini pula yang terjadi selama penyelenggaraan Asian Games 2018 yang berlangsung pada Minggu (2/9/2018).
Baca juga: WhatsApp Bangun Literasi Digital Tangkal Hoaks
Pertama, saat Presiden Joko Widodo menggunakan peran pengganti (stuntman) pada pembukaan Asian Games 2018 yang digelar pada 18 Agustus 2018.
Sebagian masyarakat menganggapnya sebagai bentuk pembohongan publik, karena Jokowi ternyata tidak melakukan aksi itu secara penuh, berbeda dengan apa yang terlihat dalam video.
Direktur Kreatif OCC Asian Games 2018, Wishnutama, mengungkapkan penggunaan peran pengganti presiden untuk melakukan atraksi di atas motor merupakan hal yang tidak mungkin dihindarkan.
Ia menyatakan hal itu dalam wawancara bersama musisi Anji yang kemudian diunggah dalam akun Youtube-nya, Dunia Manji, pada Selasa (21/8/2018) lalu.
“Loh iya. Masa sih Presiden saya suruh beneran loncat? Sekelas Arnold Schwarzenegger orang segitu gaharnya aja tetap pakai stuntman kok,” ucap Wishnutama.
Hal ini juga secara tidak langsung diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2013 tentang Pengamanan Presiden Dan Wakil Presiden, Mantan Presiden Dan Mantan Wakil Presiden Beserta Keluarganya Serta Tamu Negara Setingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan.
Presiden dan Wakil Presiden merupakan representasi negara sehingga perlu mendapatkan pengamanan secara khusus.
Jadi, tidak mungkin seorang presiden diminta untuk melakukan atraksi berbahaya demi kepentingan hiburan semata.
Kedua, netizen ada yang mempertanyakan pengibaran bendera dan dinyanyikannya lagu kebangsaan China pada penutupan Asian Games 2018, Minggu (2/9/2018).
Baca juga: Menkominfo: Mulailah Literasi Digital dari Keluarga
Padahal, hal itu merupakan tradisi dalam setiap penyelenggaraan acara multinasional seperti Asian Games, Olimpiade, Piala Dunia, dan sebagainya.
Dikibarkannya bendera dan lagu kebangsaan dari negara China dimaksudkan sebagai simbol bahwa negara tersebut lah yang akan menjamu negara-negara Asia selanjutnya dalam perhelatan Asian Games 2022.
Hal itu juga sudah diatur dalam Constitution and Rules Olympic Council of Asia (OCA).
Pada poin Closing Ceremony, disebutkan bendera negara tuan rumah selanjutnya akan dikibarkan di tiang sebelah kiri dibarengi dengan dikumandangkannya lagu kebangsaan dari negara yang bersangkutan.
Sementara tiang bagian tengah diisi oleh bendera OCA, dan tiang sebelah kanan digunakan untuk mengibarkan bendera negara penyelenggara saat itu.
Apa yang menyebabkan masih adanya masyarakat yang "sumbu pendek"?
Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Novi Kurnia mengatakan, hal ini terjadi karena lemahnya penerapan literasi digital di Indonesia.
Literasi digital membutuhkan kemampuan di bidang teknis dan non teknis.
Bidang teknis meliputi kemampuan akses atau penggunaan media digital, sementara bidang non teknis terdiri dari kemampuan interaksi dengan orang lain (konteks sosial dan budaya) dan kemampuan menguasai pengetahuan terkait konteks media digital terkait.
“Nah problemnya tidak semua masyarakat Indonesia menguasai dua kemampuan non teknis tersebut,” ujar Novi Kepada Kompas.com, Selasa (3/9/2018) siang.
Baca juga: Tingkatkan Literasi Digital Masyarakat, Pemerintah Bikin Progam Ini
Rendahnya literasi digital juga berkaitan dengan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.
“Namun yang paling berpengaruh adalah kemampuan pengguna media digital untuk melakukan mitigasi risiko sebelum share informasi ke pengguna lain, yang terkait dengan problem etika bermedia digital dan mengelola pengetahuan yang ada,” papar Novi.
Novi menilai, banyak yang dengan mudahnya membagi dan menyebarkan konten tanpa mempertimbangkan efek yang timbul setelahnya. Selain itu, tidak memerhatikan etika saat membagi ulang sebuah konten.
Menurut data statistik United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara yang literasinya rendah.
Sementara, berdasarkan survei World Economic Forum, Indonesia berada di posisi ke-77 dari 144 negara dalam bidang kesiapan teknologi.
Permasalahan rendahnya literasi digital ini, menurut Novi, menjadi tanggung jawab semua pihak dan tidak dapat dibebankan kepada salah satu atau sebagian pihak saja.
“Semua pihak dalam masyarakat bertanggung jawab untuk meningkatkan literasi digital dari individu (warga negara), keluarga, sekolah, perguruan tinggi, masyarakat umum, pemerintah, NGO, perusahaan, media, dan lain-lain. Yang paling utama ya masing-masing pihak ini harus berkolaborasi,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.