KOMPAS.com - Teks proklamasi autentik ternyata sempat hilang setelah berperan penting menjadi tonggak sejarah baru bagi Indonesia.
Teks yang turut mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan itu hilang selama belasan tahun, setelah dibacakan sang proklamator Soekarno di Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Dalam buku 17-8-45: Fakta, Drama, Misteri (2015) yang ditulis Hendri F Isnaeni, Sayuti Melik menyatakan bahwa penanda keautentikan naskah proklamasi ialah tulisan "Atas Nama Bangsa Indonesia"
Sementara itu, yang banyak beredar sebelumnya ialah teks proklamasi dengan tulisan penanda "Wakil-wakil Bangsa Indonesia".
Teks itu baru ditemukan kembali sekitar tahun 1960. Naskah diberikan pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada Presiden Soekarno.
Sebelumnya, selama belasan tahun, teks itu melanglang buana setelah tiga pekan dibacakan oleh Soekarno.
Baca juga: Cerita Naskah Proklamasi dan Mesin Tik Milik Perwira Nazi
Cerita dimulai saat Soekarno bertemu dengan Tan Malaka di Jakarta. Pertemuan berlangsung di rumah dokter pribadi Soekarno pada 9 September 1945. Saat pertemuan berlangsung semua lampu dimatikan.
Beberapa hari kemudian, Soekarno bertemu lagi dengan Tan Malaka. Kali ini pertemuan berlangsung di kediaman dr Murwardi, pemimpin Barisan Pelopor di masa pendudukan Jepang.
Menurut Sayuti Melik, dalam buku tersebut, pertemuan itu membahas perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan.
Tan Malaka saat itu memprediksi kedatangan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia dengan menumpang kedatangan sekutu.
Ia juga memprediksi Jakarta akan menjadi medan pertempuran sehingga ia menyarankan kepada Soekarno untuk memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pelosok, kalau perlu ke pedalaman hutan.
Baca juga: Detik-detik yang Menegangkan, Drama Saat Penyusunan Teks Proklamasi...
Karena khawatir kemungkinan itu terjadi, Soekarno lantas berkata kepada Tan Malaka, "Jika nantinya terjadi sesuatu atas diri kami, sehingga tidak dapat memimpin revolusi kita, saya harap saudaralah yang melanjutkannya, dan untuk ini saya akan membuat testamen."
Tan Malaka tak bereaksi apa pun saat mendengar hal itu. Ia menganggap pernyataan Soekarno sebagai sebuah penghormatan.
Soekarno lantas menyampaikan niatnya untuk membuat testamen itu jika sekutu menawannya. Niat itu ia ungkapkan dalam rapat kabinet pada pengujung September. Namun, ia tak menyebut nama Tan Malaka sebagai sosok yang disebut dalam Testamen.
Perbincangan ihwal testamen baru berlanjut setelah Inggris mendarat. Situasi itu semakin mendesak Soekaerno untuk membuat testamen. Soekarno kembali bertemu dengan Tan Malaka.
Pertemuan berlangsung di rumah Ahmad Subardjo dan dihadiri pula oleh Iwa Kusumasumantri, dan Gatot Taroenamihardjo. Mereka sepakat menunjuk Tan Malaka sebagai ahli waris revolusi jika Soekarno dan Mohamad Hatta ditangkap sekutu.
Namun, di kemudian hari, M Hatta tak setuju ihwal penunjukan itu karena hanya satu orang yang diberi mandat. Hatta juga menginginkan Sutan Sjahrir dimasukan sebagai penerima mandat.
Baca juga: Kisah Tiga Pengibar Merah Putih Saat Proklamasi 17 Agustus 1945
Ahmad Subardjo lantas protes karena semua penerima mandat ialah orang Minang. Subardjo pun meminta Wongsonegoro SH dimasukan pula ke dalam daftar penerima mandat.
Terakhir, Soekarno mengusulkan nama Iwa sebagai perwakilan dari suku Sunda.
Namun, ada pula yang mengatakan keempat nama pemberi mandat bukan dipilih berdasarkan suku, melainkan ideologi.
Soekarno lalu meminta Tan Malaka menyusun kata-kata untuk Testamen. Setelah semuanya sepakat dengan isinya, testamen langsung diketik Subardjo.
Tan Malaka lantas membawa testamen tersebut dalam sebuah amplop. Setelah itu ia pergi berkeliling jawa.
Ternyata di dalam amplop tempat testamen, tersimpan pula teks proklamasi asli yang diketik Sayuti Melik. Teks proklamasi asli pun terkatung-katung bersama Tan Malaka hingga ia meninggal dunia.
Kemudian, Trimurti, istri Sayuti Melik, menuturkan bahwa tokoh Partai Murba (partai yang didirikan Tan Malaka), Syamsu Harya Udaya, pada pengujung 1964 mendatanginya.
Baca juga: Sayuti Melik, Pengetik Teks Proklamasi
Selama ini, ternyata Syamsu yang menyimpan testamen dan teks proklamasi asli. Trimurti dan Syamsu lalu menemui tokoh PKI DN Aidit yang saat itu dekat dengan Presiden Soekarno.
Mereka meminta Aidit mengembalikan teks proklamasi dan testamen kepada Presiden Soekarno.
Selepas itu, Aidit mengatur pertemuan antara Soekarno, Trimurti, Syamsu, dan ia sendiri dalam rangka penyerahan teks proklamasi dan testamen yang sempat membikin gempar dunia perpolitikan Indonesia.
Pasalnya, testamen tersebut sempat membuat Tan Malaka dipenjara karena mengaku sebagai penerima mandat revolusi dari Soekarno.
Pertemuan berlangsung di Istana Negara, Jakarta. Kala itu, Trimurti menyarankan agar testamen dibakar supaya tak menimbulkan kegemparan baru. Sementara itu teks proklamasi asli yang telah kembali akhirnya disimpan Soekarno.
Pada 17 Agutus 1967 dalam perayaan HUT RI, untuk pertama kalinya teks proklamasi itu dibacakan kembali saat upacara di Istana Merdeka.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Jenderal AH Nasution bertugas membacakannya.