JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Kwik Kian Gie mengatakan Sjamsul Nursalim selaku selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004 adalah obligor yang tidak kooperatif.
Kwik menilai Sjamsul tidak mau bertanggung jawab atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah diserahkan pemerintah.
Hal itu dikatakan Kwik saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (5/7/2018). Dia bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Sjamsul Nursalim termasuk yang tidak kooperatif," ujar Kwik kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Menurut Kwik Kian Gie, Megawati Perintahkan Yusril Buat Draf Inpres SKL BLBI
Menurut Kwik, Sjamsul tidak menandatangani kesepakatan personal guarantee. Dalam perkara BLBI, Sjamsul seharusnya menjadi penanggung atau penjamin yang mewakili badan hukum selaku obligor.
Kwik mengatakan, Sjamsul memiliki harta dan aset yang cukup besar. Seharusnya, menurut Kwik, apabila ada personal guarantee, maka pertanggungjawaban dana BLBI masih bisa dimintakan kepada Sjamsul hingga saat ini.
"Seperti sering perseroan terbatas kalau minta kredit, bank akan minta tanda tangan pemilik," kata Kwik.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Baca juga: Alasan Kwik Kian Gie Tolak Keputusan Megawati dan Pendapat Kabinet soal SKL BLBI
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi).