JAKARTA,KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Agus Supriatna batal hadir ke KPK.
Rencananya hari ini, Jumat (11/5/2018), Agus dipanggil KPK untuk dimintai keterangan terkait kasus suap pengadaan helikopter angkut Agusta Westland AW101 di TNI Angkatan Udara (TNI AU) tahun 2016 2017.
“Pihak PH (Penasihat Hukum) saksi yang menghubungi KPK tidak bisa hadir karena surat panggilan belum diterima,” ujar Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (11/5/2018).
Namun demikian, Febri Diansyah memastikan surat panggilan sudah dikirimkan ke pihak saksi.
“Kami pastikan surat panggilan sudah dikirimkan atau disampaikan di awal Mei 2018 ke rumah di Halim,” ucapnya.
Baca juga: KPK Sebut Mantan KSAU Tolak Paparkan soal Pengadaan Heli AW101
“Penyampaian suratnya adalah lokasi yang sama dengan surat-surat sebelumnya yang sudah disampaikan ke yang bersangkutan,” sambungnya.
Untuk kepentingan pemeriksaan, ucap Febri, KPK akan melakukan pemanggilan kembali Mantan Kepala Staf Angkayan Udara Periode 2015-2017 tersebut.
Febri menuturkan waktu pemanggilan saksi Agus Supriatna disesuaikah nn dengan kebutuhan penanganan perkara.
“Direncanakan paling cepat minggu depan," ucap dia.
Baca juga: Kasus Korupsi Helikopter AW101, PPATK Temukan Aliran Dana ke Singapura dan Inggris
Dalam kasus korupsi pembelian helikopter angkut Agusta Westland AW101, TNI sudah menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya.
Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.
Selain itu, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Sementara KPK menetapkan satu tersangka, yakni Irfan Kurnia Saleh.
Diketahui, pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana. Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden.
Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar. Namun, meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan.
Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan. Selain itu, heli AW101 yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara.
Misalnya, heli tidak menggunakan sistem rampdoor. Hasil perhitungan sementara ditemukan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar tersebut.