DI KUARTAL pertama tahun 2018, polisi mampu menangkap anggota sindikat pelaku penyebaran ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan, jaringan The Family Muslim Cyber Army (MCA).
Mereka diduga pelaku di balik serangkaian penyebaran informasi-informasi hoaks berbau SARA di dunia maya.
Capaian polisi dalam pengungkapan jaringan sindikat yang sempat memecah-belah sebagian warga patut mendapat apreasiasi. Akan tetapi, baik negara dan masyarakat tidak dapat berpuas hati.
Dampak yang telah terjadi dan pengaruh informasi yang telah diyakini oleh masyarakat justru jauh lebih penting untuk ditanggulangi dan dicegah agar kasus yang sama tidak terjadi kembali.
Negara perlu merebut kembali narasi keberagaman yang menjadi napas dari konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai negara yang menganut nilai-nilai demokrasi, isu soal batasan hukum mengenai kebebasan individu selalu menjadi perdebatan. Kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi dengan penegakan hukum selalu menjadi polemik.
Namun, yang perlu diingat, bagaimanapun, keterdesakan soal keamanan menjadi landasan penting kehidupan berbangsa dan bernegara yang tenteram.
Dengan begitu, tidak ada seorang warga pun di negeri ini yang bisa menerjemahkan jargon "kebebasan" secara sepihak sebagai bentuk kebebasan dirinya untuk mencederai kebebasan warga atau kelompok lainnya.
Bagaimana seharusnya pemerintah dan masyarakat bersikap terhadap hal ini?
Kita perlu belajar dari Korea Selatan dengan kesuksesan pemerintahnya melakukan cultural engineering "hallyu" atau gelombang Korea dengan "beternak" budaya pop ala Korea hingga menjadi sebuah industri yang amat kuat di panggung global.
Perlu diingat, strategi pemerintah Korea Selatan bukanlah menyokong industri budaya pop yang telah ada di negerinya.
Namun, pemerintahlah yang dengan sistematis memang melakukan engineering, mencipta, menyemai, dan memasarkan budaya pop itu secara amat berkesadaran.
Bukan semata untuk membangun citra negeri Korea, namun lewat budaya pop itulah mesin ekonomi Korea menancapkan tonggak tersendiri di dunia.
Membangun narasi adalah pekerjaan yang bersifat soft power. Kebijakan soft power berfungsi menyokong sebuah narasi besar secara sistematis dengan stamina yang terjaga.
Disebut soft power karena kebijakan ini mengedepankan strategi kebudayaan yang daya penetrasinya ke masyarakat bisa kuat dan masif namun terasa "lunak".