Figur di bawah memperlihatkan gap antara perekonomian negara-negara G7 dan E7 di tahun 2050 dari segi PPP ataupun MER, sementara di tahun 2014 selisihnya tidak terlalu jauh.
Banyak faktor yang menyebabkan pergeseran ekonomi dunia dari negara-negara Barat menjadi ke negara-negara Asia.
Pertama disebabkan perekonomian di negara-negara maju sudah mencapai titik jenuh dan kesetimbangan sehingga sulit untuk berkontraksi berkembang lebih jauh, sementara di negara-negara E7 ruang untuk bertumbuh dan berkembang masih terbuka lebar.
Ditambah lagi negara-negara E7 kebanyakan adalah negara dengan jumlah penduduk yang luar biasa besar. China, India, Nigeria, dan Indonesia. Jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai 8,6 miliar manusia di tahun 2030; dan mencapai 9,8 miliar di tahun 2050.
India akan menyalip China di sekitar tahun 2022-2024. Nigeria diperkirakan akan menjadi penduduk ketiga terbesar dunia melewati Amerika Serikat di sekitar tahun 2040-2050.
Dengan gabungan India, China, Indonesia, dan Nigeria sendiri, sudah mencakup sekitar 25 persen penduduk dunia di tahun 2030-2050. Dengan jumlah manusia mendekati 2,5 miliar manusia (India, China, Indonesia, Nigeria) bisa dibayangkan berapa besar ukuran pasar dan perputaran uang di empat negara tersebut.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga ditunjang dengan adanya bonus demografi di dekade 2020-2030. Apa itu bonus demografi yang sering kita dengar dan baca?
Bonus demografi adalah perpaduan konsep antara demografi dengan ekonomi. Akan ada potensi manfaat ekonomi yang bisa diperoleh suatu negara karena penduduknya dominan usia produktif. Bonus demografi muncul manakala usia produktif (15–64 tahun) di angka 70 persen dari total jumlah penduduk.
Baca juga : Presiden Tertawa saat Ditanya Pidato Prabowo soal Indonesia Bubar 2030
Intinya, jumlah 70 persen nanti akan menopang hidup 30 persen usia nonproduktif yang terdiri atas usia di bawah 15 tahun dan 65 tahun/ke atas.
Contoh yang bisa kita lihat negara dengan ledakan bonus demografi dan bisa memanfaatkannya secaa maksimal adalah Korea Selatan ketika menerima bonus demografi di kisaran tahun 1981-1995; pertumbuhan ekonominya mencapai 8,5 persen, bahkan ratio GDP mencapai 40 persen pada 1991, begitu pula dengan rasio tabungan mencapai 40 persen pada 1988.
Namun kondisi sekarang masih cukup memprihatinkan dilihat dari indeks pembangunan manusia atau human development index (HDI) Indonesia justru masih rendah. Dari 182 negara di dunia misalnya, ternyata Indonesia masih berada di urutan 111.
Sedang di ASEAN, HDI Indonesia di posisi ke-6 di antara 10 negara ASEAN, masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapura. Dari tingkat HDI ini, terlihat bahwa pekerja Indonesia tidak kompetitif di pasar serta dunia kerja baik di dalam maupun di luar negeri.
Banyak aspek yang memengaruhi HDI ini, di antaranya dan yang terutama adalah pendidikan dan juga banyak faktor lain yang saling berkelindan.
Hal yang perlu menjadi perhatian utama adalah bagaimana mengikis 12 ciri khas manusia Indonesia yang dirumuskan oleh Mochtar Lubis: (1) hipokrit alias munafik; (2) segan dan enggan bertanggung jawab; (3) berjiwa feodal; (4) percaya takhayul; (5) artistik (hanya ini yang positif); (6) watak yang lemah; (7) tidak hemat; (8) lebih suka tidak bekerja keras kecuali terpaksa; (9) tukang menggerutu atau berbicara di belakang; (10) cepat cemburu dan dengki; (11) sombong dan sok; (12) plagiat.
Semua itu adalah penjabaran lebih jauh dari identifikasi oleh Bapak Antropologi Indonesia, Prof Koentjaraningrat di tahun 1971 yang merumuskan mentalitas lemah orang Indonesia dalam buku “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1974): (1) mentalitas yang meremehkan mutu; (2) sifat mentalitas yang suka menerabas; (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri; (4) sifat tak berdisiplin; (5) sifat mentalitas mengabaikan tanggung jawab. (#KamiJokowi, halaman 194, Gramedia, Maret 2018, artikel oleh Didi Kwartanada)
Semenjak Pilpres 2014 sampai hari ini tahun 2018, masyarakat Indonesia kebanyakan disibukkan oleh keasyikan baru yaitu media sosial masif. Di semua linimasa media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, dsb) tidak ada satupun yang steril dari urusan gebuk-gebukan masalah agama dan politik.
Media sosial sudah menjadi “Kitab Suci” bagi sebagian masyarakat Indonesia. Apapun yang berseliweran di media sosial sudah dianggap sebagai ayat suci yang diyakini dan diimani kebenarannya, serta merta disebarluaskan.
Mereka yang tidak sependapat atau tidak setuju dianggap musuh, yang berbeda dianggap musuh. Para analis dunia sepertinya melupakan satu faktor penting dalam urusan ekonomi dan perkembangan dunia 2020-2050 ini, pengaruh media sosial!
Beberapa kelemahan negara-negara E7 nampak dalam tabel di bawah ini, namun sepertinya lupa tidak memasukkan ancaman media sosial: