JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis antikorupsi yang merupakan akademisi dari berbagai perguruan tinggi meminta pemerintah mengevaluasi ulang fungsi Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Mereka yang tergabung dalam Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi (GAK) mengundang sejumlah kementerian dan lembaga untuk mendiskusikan hal itu bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kami tidak bahas masa lalu, tapi ke depan bagaimana. Karena ternyata kami temukan masih banyak kerugian berlanjut akibat peluncuran e-KTP yang bermasalah," ujar Ketua GAK Bidang Hubungan Antarlembaga Suwidi Tono di Gedung KPK Jakarta, Jumat (9/3/2018).
Menurut Suwidi, para akademisi berpandangan bahwa pengusutan kasus korupsi di balik pengadaan e-KTP adalah momentum yang tepat untuk mengembalikan tujuan pembuatan sistem data tunggal kependudukan.
(Baca juga: Ketua KPK: Kerugian Negara Rp 2,3 T di Kasus e-KTP Bukan Isapan Jempol)
Menurut para akademisi, kartu e-KTP yang saat ini digunakan sama sekali tidak memiliki manfaat. Bahkan, tidak ada bedanya dengan KTP lama.
Meski memakan anggaran besar, e-KTP yang digunakan sekarang menggunakan chip berkapasitas rendah dan sistem operasi yang tidak kompatibel untuk mendukung berbagai program pemerintah.
Misalnya, e-KTP tidak bisa mendukung program perpajakan, program bantuan sosial seperti dana BOS, dan bantuan kesehatan, serta tidak mendukung data pemilih dalam pemilu.
"Kami meminta pemerintah merancang ulang sistem e-KTP yang bermanfaat dan mendukung di sektor perpajakan, alokasi anggaran dan subsidi tepat sasaran," kata Suwidi.
Para akademisi yang hadir beberapa di antaranya berasal dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sementara, beberapa perwakilan lembaga yang hadir yakni, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kantor Staf Presiden dan Kementerian Pertahanan. Diskusi di Gedung KPK dihadiri juga oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.