Mirip Pilkada DKI
Jika dilihat lebih jauh, peta koalisi tersebut sangat mirip dengan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang juga terdiri dari tiga poros.
Koalisi pendukung Jokowi sebagai petahana mirip dengan pendukung pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Pada Pilkada DKI, Ahok-Djarot mendapat dukungan dari PDI-P, Golkar, Nasdem, dan Hanura.
Hanya PPP yang mendukung Jokowi di Pilpres 2019, namun tak bergabung pada koalisi pendukung Ahok-Djarot.
Pada Pilkada DKI 2017, PPP memilih bergabung dengan tiga partai yang saat ini ada di poros ketiga, yakni Partai Demokrat, PAN dan PKB. Keempat parpol ini mendukung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Terakhir, koalisi Partai Gerindra-PKS, pada Pilkada 2017 lalu mengusung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Meski paling ramping, namun koalisi ini berhasil keluar sebagai pemenang.
Meski demikian, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris berharap, Pilpres 2019 nanti tidak berlangsung sepanas Pilkada DKI. Justru dengan munculnya poros ketiga, ia berharap pilpres bisa berjalan lebih adem.
(Baca juga: Peneliti LIPI: Munculkan Poros di Luar Jokowi dan Prabowo Jadi Tantangan Pilpres 2019)
Sebab, publik tidak akan lagi terbelah menjadi dua kubu seperti saat Jokowi vs Prabowo pada Pilpres 2014 lalu.
"Jadi ini menghindari munculnya pembelahan politik jika hanya dua kubu atau dua poros," kata Syamsuddin.
Syamsuddin menambahkan, dengan adanya poros ketiga, maka masyarakat juga akan mendapatkan pilihan alternatif selain Jokowi dan Prabowo.
"Kalau untuk demokrasi kita jelas akan lebih baik," kata dia.
Terkait siapa yang diuntungkan dan dirugikan dengan munculnya poros ketiga ini, menurut Syamsuddin, hal itu akan sangat tergantung dengan sosok capres dan cawapres yang diusung pihak ketiga.
Menurut dia, bisa saja pasangan yang diusung poros ketiga akan mengambil suara Jokowi, namun bisa pula mengambil suara Prabowo.
"Tergantung siapa penantangnya," kata dia.