JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional sekaligus tim perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Enny Nurbaningsih membantah anggapan perluasan pasal zina akan menjerat ranah privat warga negara.
Polemik mengemuka terkait pasal 460 ayat 1 huruf e dan Pasal 463 draf RKUHP per 2 Februari 2018.
Pasal 460 menyatakan pidana zina dapat dikenakan jika pelaku belum menikah berdasarkan tuntutan dari orangtua atau anak.
Sedangkan pasal 463 mengatur soal pidana jika hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau "kumpul kebo".
"Tidak ada dan negara enggak mungkin bisa masuk ke ranah privat. Kemarin saat menyampaikan kepada Presiden juga tidak ada. Tidak mungkin negara bisa masuk ke ranah privat," ujar Enny saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/3/2018).
(Baca juga : ICJR: Perluasan Pasal Zina Berpotensi Hancurkan Ruang Privasi Warga)
Enny menjelaskan, pasal perzinaan dalam RKUHP bertujuan untuk mengatur perbuatan yang dilakukan di wilayah publik.
Ketika perbuatan yang dikategorikan zina dilakukan di wilayah publik, maka pemerintah bisa menindak.
Sementara jika perbuatan itu dilakukan di ranah privat, maka pemerintah tidak bisa ikut campur.
"Yang bisa dilakukan oleh hukum publik itu ketika wilayah publik terganggu. Ketika wilayah publik tidak terganggu, negara tidak bisa masuk," kata Enny.
"Orang di dalam kamar sekalipun, entah ngapain, termasuk misalnya LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), kalau dia tidak melakukan di wilayah publik, ya kita tidak bisa ngapa-ngapain juga," tuturnya.
(Baca juga : DPR dan Pemerintah Sepakat Pasal Zina Tetap Diperluas dalam RKUHP)
Secara terpisah, Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, pasal itu menuai polemik karena aparat hukum akan kesulitan dalam membuktikan perbuatan zina.
Jika pasal itu disahkan, dikhawatirkan akan terjadi kriminalisasi berlebihan.
"Pertama, harus membuktikan soal status pelaku di luar perkawinan yang sah. Kedua, bersetubuh. Bersetubuh dalam KUHP masih didefinisikan penetrasi alat kelamin. Lalu bagaimana membuktikannya?" ujar Erasmus.
(Baca juga : Perluasan Pasal Zina dan Kriminalisasi LGBT dalam RKUHP)
Selain itu, pasal ini dikhawatirkan membuat masyarakat terlalu jauh mencampuri urusan pribadi orang lain.
Padahal, aturan pidana idealnya terkait kepentingan umum. Dengan alasan kepentingan umum itulah masyarakat merasa berhak melakukan persekusi terhadap pelaku perzinaan.
"Ketika mau masuk ke dalam suatu ruang berarti kan dia menghancurkan ruang privasi orang. Pasal seperti ini jika disahkan nanti maka yang akan muncul adalah penggerebekan," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.