Internalisasi dan kepekaan
Peter L Berger mengungkapkan bahwa internalisasi adalah proses pemaknaan atas suatu fenomena, realitas, konsep atau ajaran kepada tiap-tiap individu.
Untuk mewujudkan penyelenggara yang berintegritas tentu tak hanya sekedar wacana belaka.
Tapi bagaimana kemudian hal itu dapat diinternalisasikan dalam kehidupan yang nyata pada pelaksanaan pilkada?
Berbagai program sosialisasi, deklarasi, kampanye damai, pendidikan pemilu yang selama ini dilakukan oleh penyelenggara, ternyata ini tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan kesadaran dan menjadikannya sebagai kebutuhan.
Penyelenggara pemilu harus memiliki kepekaan tinggi. Peka ketika ada temuan serta laporan dugaan pelanggaran dari masyarakat dan menindaklanjutinya. Peka jika ada peserta pemilu yang tidak diberlakukan adil.
Beberapa catatan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terdapat adanya penyelenggara yang diberikan sanksi peringatan keras karena tidak menindaklanjuti dan lalai terhadap laporan dari masyarakat.
Ini mengindinkasikan bahwa ditubuh penyelenggara pemilu terjadi krisis integritas.
Jika keadaan ini dibiarkan dan terjadi sampai berlarut larut, maka jangan harap bisa terwujud pemimpin yang berkualitas.
Menurut Agni Indriani (2015) ada 5 faktor yang dapat melemahkan integritas. Pertama, rendahnya nilai religiusitas, disiplin serta etika dalam bekerja serta adanya sifat tamak, egois dan mementingkan diri sendiri.
Kedua, tidak adanya goodwill serta keteladanan dari pemimpin untuk meningkatkan integritas. Keputusan pemimpin yang berlawanan dengan ketentuan perundang-undangan dapat menyebabkan runtuhnya integritas.
Ketiga, sistem dan prosedur yang tidak transparan dan efektif.
Keempat, struktur organisasi yang tidak sistematis, tidak memiliki tujuan yang jelas, tumpang tindih pembagian tugas dan adanya persaingan yang tidak sehat.
Kelima, budaya kerja yang tidak mementingkan integritas.
Mulai dari saat ini, masing-masing individu penyelenggara hendaknya berbenah diri dan intropeksi.