Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

PK dan Masa Depan Politik Ahok

Kompas.com - 05/03/2018, 08:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MANTAN Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akhirnya memutuskan naik banding setelah sembilan bulan menjalani masa tahanan.

Ahok melalui kuasa hukumnya, Fify Lety Indra yang juga adik kandungnya, dan Josefina Agatha Syukur, resmi mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 2 Februari 2018.

Gonjang-ganjing kembali terjadi. Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Gatot Saptono alias Muhammad Al Khaththath mencurigai adanya motif politik di balik pengajuan PK Ahok.

Menurut dia, jika MA memutus bebas Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta ini bakal mengikuti kontestasi pilpres, entah sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.

Dari sisi waktu, Ahok memiliki peluang itu. Menurut jadwal Komisi Pemilihan Umum, pendaftaran kandidat presiden dan wakil presiden adalah 4-10 Agustus 2018. Jika proses PK memakan waktu maksimal 3 bulan, sesuai peraturan MA, Ahok punya kesempatan untuk mendaftarkan diri.

Namun, pertanyaannya, benarkah Ahok masih memiliki keinginan terjun kembali ke kancah politik jika MA memutus bebas?

Program AIMAN yang tayang di KompasTV, Senin (5 Maret 2018), akan mengupas hal ini. Saya mewawancarai sejumlah orang dekat Ahok yang berkunjung ke Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, tempat Ahok ditahan selama ini.

Membatalkan banding

Ahok diputus bersalah pada 9 Mei 2017 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Ia didakwa melanggar Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama.

Majelis Hakim menyebut Ahok terbukti mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama di muka umum.  Vonis dua tahun penjara dijatuhkan.

Ahok membatalkan proses banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Ada tiga alasan yang disampaikan pengacara Ahok kala itu, Wayan Sudirta.

Pertama, Ahok tidak ingin perkaranya menimbulkan kemacetan terus-menerus. Sepanjang persidangan, kubu pro dan anti Ahok turun ke jalan.

Kedua, Ahok tidak ingin pendukungnya terus-menerus melakukan demo sampai meninggalkan pekerjaan. Ahok tidak mau nantinya ada demo tandingan dari pihak lawan sehingga bentrok.

Alasan ketiga, berkaitan dengan adanya tudingan bahwa pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo melindungi Ahok. Ia tidak ingin membebani pemerintahan Jokowi dan ingin meniadakan kesan dukungan itu.

Baca: Cerita Pengacara yang Kaget dengan Alasan Ahok Cabut Banding 

Tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yaitu Fifi Lety Indra (kanan) yang merupakan adik kandung Ahok, Josefina Agatha Syukur (tengah), dan Daniel (kiri), bersiap mengikuti sidang Peninjauan Kembali (PK) vonis dua tahun penjara terhadap Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Senin (26/2/2018). Dalam persidangan tersebut majelis hakim telah memeriksa bukti baru atau novum yang diberikan tim kuasa hukum, dan majelis hakim tidak langsung memutuskan permohonan PK Ahok diterima atau ditolak, namun Keputusan akhir akan dilakukan Mahkamah Agung.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yaitu Fifi Lety Indra (kanan) yang merupakan adik kandung Ahok, Josefina Agatha Syukur (tengah), dan Daniel (kiri), bersiap mengikuti sidang Peninjauan Kembali (PK) vonis dua tahun penjara terhadap Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Senin (26/2/2018). Dalam persidangan tersebut majelis hakim telah memeriksa bukti baru atau novum yang diberikan tim kuasa hukum, dan majelis hakim tidak langsung memutuskan permohonan PK Ahok diterima atau ditolak, namun Keputusan akhir akan dilakukan Mahkamah Agung.

Dasar PK dari putusan Buni Yani

Lantas, kenapa sekarang Ahok mengajukan PK? Alasannya adalah adanya kondisi baru terkait putusan Buni Yani yang divonis 1,5 tahun penjara. Terkait putusan itu, Ahok menganggap majelis hakim yang memutusnya bersalah telah melakukan kekhilafan.

Kuasa hukum Ahok mengatakan, putusan bersalah atas Ahok didasari oleh video yang diunggah oleh Buni Yani yang kemudian memicu gelombang unjuk rasa yang dikenal dengan aksi 212, 411, dan seterusnya.

Penasihat Hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian, yang diwawancari Program AIMAN menolak argumentasi pihak Ahok. Menurut Aldwin, Buni Yani tidak pernah dipanggil sebagai saksi dalam persidangan Ahok.

Terkait dengan perdebatan materi hukum ini biarlah Hakim Agung di MA yang memutuskan. Kita tunggu saja setidaknya tiga bulan sesuai dengan masa persidangan maksimal yang telah ditatur.

Lalu, bagaimana implikasi politis jika MA mengabulkan permohonan Ahok? Bisakah Ahok serta merta maju pilpres? Jawabannya, tidak semudah itu.

Dua faktor masa depan politik Ahok 2019

Faktor pertama adalah legal formal. Dalam UU Pilkada yang pernah diputus Mahkamah Konstitusi maupun UU Pemilu yang baru saja disahkan (Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017), dalam Pasal 169 huruf p disebutkan bahwa “Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, tidak bisa diajukan bila pernah dipidana dan sudah memperoleh keputusan hukum tetap dengan ancaman hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.

Isi pasalnya sebagai berikut, “Syarat sebagai Calon Presiden & Calon Wakil Presiden adalah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”

Sementara pada Pasal 156a KUHP yang dikenakan dalam kasus Ahok, ancaman pidana maksimalnya adalah lima tahun.

Pasal ini pernah menjadi perdebatan terkait apakah Ahok saat itu perlu mundur atau tidak sebagai gubernur. Pasal 83 Undang-Undang Pemerintah Daerah menyebutkan, kepala daerah yang berstatus terdakwa harus mundur sementara jika diancam dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun penjara.

Kala itu terjadi perbedaan tajam diantara para pakar hukum tata negara. Ada yang berangggapan bahwa frasa paling lama 5 tahun dan paling singkat 5 tahun memiliki irisan.

Nah, bagaiamana dengan frasa Pasal 169 UU Pemilu? Pasti akan kembali terjadi perbedaan tajam mengenai pasal ini.

Buni Yani, terdakwa kasus pelanggaran UU ITE, menjalani sidang putusan di Gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip), Jalan Seram, Kota Bandung, Selasa (14/11/2017).KOMPAS.com/Dendi Ramdhani Buni Yani, terdakwa kasus pelanggaran UU ITE, menjalani sidang putusan di Gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip), Jalan Seram, Kota Bandung, Selasa (14/11/2017).

Selanjutnya, faktor kedua masa depan politik Ahok lebih bersifat pragmatis. Apakah Ahok memiliki elektabilitas yang tinggi jika maju dalam pilpres 2019?

Baru-baru ini Lembaga Survei Populi Center mengeluarkan hasil surveinya. Lembaga ini satu-satunya yang menempatkan Ahok dalam surveinya.

Hasilnya jauh berbeda dengan saat ia menjadi gubernur DKI Jakarta. Saat masih menjadi gubernur DKI Jakarta, elektabilitas Ahok berada di tiga besar nasional bersanding dengan Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Survei CSIS pernah memotretnya pada akhir 2015.

Kini dalam hasil survei Populi Center, Ahok berada pada angka 0,4 persen. Jauh tertinggal dari elektabilitas Joko Widodo 52,8 persen dan Prabowo Subianto 15,4 persen. Elektabilitas Ahok bahkan berada di bawah Jenderal Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Jusuf Kalla.

Pertanyaannya, bisakah angka-angka ini naik pasca-PK Ahok dikabulkan? Peneliti Populi Center Rafif Imawan mengatakan kepada saya, bisa!

Namun, untuk naik drastis sangat sulit. Apalagi, Ahok hanya memiliki kekuatan di wilayah kota terutama Jakarta dan sekitarnya, belum dalam lingkup Indonesia secara umum.

Satu hal lagi, apa pun hasil putusan MA, jerat penodaan agama adalah “dosa politik” yang sulit dipulihkan dalam hitung-hitungan politik.

Terlepas dari dua faktor di atas, tentu kita semua sepakat bahwa adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh pihak berwenang. Di dalamnya juga termaktub hak setiap warga negara untuk mengambil apa pun upaya legal formal yang bisa ditempuh, termasuk PK.

Saya Aiman Witjaksono…

Salam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Nasional
'Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?'

"Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?"

Nasional
Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com