JAKARTA, KOMPAS.com - Amnesty Internasional Indonesia menilai masih ada beberapa kemajuan terkait hak asasi manusia di Indonesia. Salah satunya yaitu diakuinya eksistensi penghayat kepercayaan dengan putusan Mahkmamah Konstitusi (MK).
"Saya kira itu satu kemajuan. Sayangnya, kemajuan ini masih memiliki tantangan yang lebih besar," ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, Jakarta, Kamis (22/2/2018).
Tantangan besar yang dimaksud Usman yaitu perkembangan politik kebencian yang kerap disponsori oleh negara dan aktor non-negara.
Perkembangan politik kebencian kian besar seiring keterkaitan dengan politik. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di berbagai negara.
Meski begitu, Amnesty Internasional Indonesia masih memiliki keyakinan adanya perbaikan situasi HAM di Indonesia. Sebab, MK dinilai menjadi benteng kuat yang bisa menjaga HAM di Indonesia tetap tegak.
(Baca juga: Menag: Prinsipnya, Hak Sipil Penghayat Kepercayaan Harus Dipenuhi)
Beberapa putusan MK yang dinilai mencerminkan perbaikan yakni terkait hak atas air, menolak gugatan terkait pidana LGBT, hingga putusan MA yang memangkan gugatan petani Kendeng atas PT Semen Indonesia.
"Di tengah kemunduran HAM, akibat kebijakan, pernyataan atau UU, MK atau pengadilan itu menjadi benteng yang cukup menjanjikan," kata Usman.
Meski ada beberapa kemajuan, Amnesty Internasional juga menilai Indonesia belum lepas dari kasus-kasus pelanggaran HAM.
Khusus di Indonesia, politik kebencian itu digunakan dengan berbagai isu. Misalnya tuduhan kebangkitan PKI seperti yang menimpa LBH Jakarta.
Selain itu ada pula kasus seorang petani Banyuwangi Heri Budiawan yang dituduh menyebarkan ajaran komunisme akibat memprotes perushaan tambang di Banyuwangi.
Kedua, politik kebencian berbasis sentiman agama. Amnesty Internasinal Indonesia mencatat ada 11 orang yang divonis bersalah atas tuduhan penistaan atau penghinaan agama.
"Mulai kasus Ahok hingga kasus Gafatar," kata Usman.
Ada pula kebencian yang digunakan untuk menuduh orang sebagai kelompok separatis, di Papua misalnya. Padahal, penentangan itu dilakukan untuk memprotes kebijakan yang melanggar HAM hingga ketidakadilan di Papua.
Pola yang sama juga digunakan untuk menuduh seseorang anti-Pancasila. Terakhir, kebencian digunakan untuk menyasar orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda.