Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPP, Tetap Bertahan di Tengah Terpaan Konflik

Kompas.com - 22/02/2018, 08:53 WIB
Kristian Erdianto,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan salah satu partai yang juga memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Tanah Air.

Pada era Orde Baru, bersama Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (sekarang PDI Perjuangan) menjadi tiga partai politik terbesar.

Sekian pemilu telah diikuti. Pada Pemilu 2019, partai yang dipimpin Rommahurmuziy ini mendapatkan nomor urut 10. 

Merunut sejarahnya, PPP pernah memiliki kisah pahit saat Orde Baru.

Baca juga: Arsul Sani: PPP Tak Ingin Ge-er Calonkan Ketum Jadi Cawapres Jokowi

Pada pemerintahan Presiden Soeharto, PPP pernah mengganti asas dan lambang partai akibat tekanan politik.

Dikutip dari situs ppp.or.id, awalnya PPP berasas Islam dan berlambangkan Ka'bah.

PPP didirikan pada 5 Januari 1973 dari penggabungan empat partai Islam, yaitu Partai Nadhlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti.

Penggabungan tersebut berawal dari deklarasi lima pimpinan empat partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam di DPR.

Para deklarator itu adalah Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama KH Idham Chalid, Ketua Umum Parmusi H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum PSII Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum Partai Islam Perti Haji Rusli Halil, dan Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR Haji Mayskur.

Baca juga: Wasekjen PPP: Hak Cak Imin Ngaku Didorong Jadi Cawapres Jokowi

Namun, pada Muktamar I 1984, PPP menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peraturan perundangan yang berlaku.

Secara resmi, PPP menggunakan asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam segi lima.

Setelah Orde Baru tumbang dan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, PPP kembali menggunakan asas Islam dengan lambang partai Kabah.

Perubahan itu ditetapkan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998.

Meski kembali menjadikan Islam sebagai asas, PPP tetap berkomitemen untuk mendukung keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 AD PPP yang ditetapkan dalam Muktamar VII Bandung 2011 bahwa, tujuan PPP adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah rida Allah Subhanahu Wataala.

Perolehan suara

PPP tercatat sudah mengikuti sebanyak enam kali pemilu sejak tahun 1977 hingga pemilu dipercepat tahun 1999 dengan hasil yang fluktuatif.

Pada Pemilu 1999, PPP meraih 11.329.905 suara atau 10,71 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP meraih 58 kursi atau 12,55 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Jumlah perolehan suara PPP menurun pada Pemilu 2004 dengan 9.248.764 atau 8,14 persen dan 58 kursi atau 10,54 persen dari 550 kursi di DPR.

Baca juga: PPP: Penambahan Pimpinan Parlemen Terkesan Bagi-bagi Kekuasaan

Kondisi PPP tak membaik saat Pemilu 2009, dengan perolehan 5,5 juta suara, dengan 38 kursi di DPR.

Pada Pemilu Legislatif 2014, perolehan suara PPP meningkat setelah meraih 8.157.488 suara dan mendapat 39 kursi di DPR.

Saat ini, PPP bergabung dengan koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bersama PDI-P, PKB, Golkar, Nasdem, Hanura, dan PAN.

Pada Pemilu 2019 mendatang, PPP telah mendaklarasikan dukungan terhadap Joko Widodo sebagai calon presiden.

Deklarasi tersebut disampaikan langsung Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy dalam pidato politiknya di Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Jumat (21/7/2017).

Persoalan hukum dan konflik internal

Sebagai partai politik, PPP juga tak lepas dari persoalan internal. Mantan Ketua Umum DPP PPP, Suryadharma Ali divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena dianggap terbukti terlibat tindak pidana korupsi.

Dalam proses banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menambah hukuman bagi Suryadharma Ali menjadi 10 tahun penjara dan memperberat hukuman dengan mencabut haknya untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah menjalani pidana penjara.

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Suryadharma terbukti menyalahgunakan jabatannya selaku menteri dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010-2013 dan dalam penggunaan dana operasional menteri.

Setelah Suryadharma Ali, kursi pimpinan partai diisi oleh Romahurmuziy.

Melalui Muktamar VIII PPP 2016 Romahurmuziy terpilih sebagai ketua umum periode 2016-2021.

Namun, setelah itu muncul konflik kepengurusan partai antara kubu Romahurmuziy dan kubu Djan Faridz yang juga mengklaim sebagai kepengurusan yang sah.

Pada 12 Juni 2017, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Romahurmuziy melalui putusan PK Nomor 79 PK/Pdt.Sus-Parpol/2016.

Putusan itu sekaligus menganulir putusan kasasi nomor 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015 tanggal 2 November 2015 yang memenangkan PPP kubu Djan Faridz.

Meski demikian, kedua kubu belum juga islah.

Pada Minggu (16/7/2017) dini hari, sempat terjadi perebutan Kantor DPP PPP di Diponegoro, Cikini, Jakarta Pusat. Saat itu sejumlah simpatisan PPP kubu Romi mendatangi kantor tersebut dan meminta Pihak Djan hengkang.

Target di 2019

Pada Pemilu 2019 mendatang, partai dengan nomor urut 10 itu menargetkan posisi 3 besar.

Rommahurmuziy, yang biasa disapa Romy, mengakui, target itu tidak akan mudah dicapai. Perlu kerja keras seluruh kader untuk mencapai target itu.

Meski demikian, ia yakin target itu akan tercapai.

"Kami punya pengalaman di Pemilu 1999 dan 2004 lalu. Untuk menuju 3 besar tentu kami harus berada dan menggantikan partai di posisi 3 besar hari ini yang menduduki 74 kursi di DPR," kata Romy.

Sementara itu, berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), PPP menjadi salah satu partai politik yang terancam tak lolos ke parlemen.

Elektabilitas PPP berdasarkan survei yang dilakukan pada Januari 2018, hanya sebesar 3,5 persen.

Padahal, untuk lolos ke DPR, parpol harus mendapatkan 4 persen suara sah nasional di pemilu legislatif 2019 mendatang.

Romy menilai, suara PPP masih bisa meningkat dengan menggaet masyarakat yang belum menentukan pilihan partai.

Berdasarkan survei LSI, mereka yang belum menentukan pilihan berjumlah cukup besar, yakni 20,7 persen.

Romy memastikan, struktur dan kultur PPP di setiap daerah semuanya akan digunakan secara stimultan untuk pemenangan.

"Di setiap survei ada yang belum memutuskan, nah itu lah yang penyeimbang di dalam suara sesungguhnya," ucap Romy.

Survei dilakukan pada 7-14 Januari 2014 dengan responden sebanyak 1.200 orang yang dipilih berdasarkan multi stage random sampling. 

Kompas TV 14 partai politik telah mendapatkan nomor urut pada Pemilu 2019 mendatang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com