Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setara Institute: E-KTP Khusus Penghayat Kepercayaan Timbulkan Diskriminasi

Kompas.com - 19/01/2018, 07:15 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Setara Institute tak sepakat dengan usul Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar pemerintah membuat e-KTP khusus bagi warga penghayat kepercayaan.

Usulan tersebut diberikan MUI sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam putusannya MK menyatakan status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.

"Kami memang setuju penerintah harus segera memenuhi hak-hak sipil penghayat kepercayaan. Tapi kami menolak ide e-KTP khusus bagi warga penghayat kepercayaan," ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos saat dihubungi, Kamis (18/1/2018).

Menurut Bonar, dengan adanya e-KTP khusus berarti akan ada pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara.

Hal itu berpotensi menimbulkan tindakan diskriminatif terhadap warga penghayat kepercayaan.

Bonar menjelaskan, dalam perspektif HAM tidak dibedakan antara agama (religion) dan kepercayaan (belief).

(Baca juga: Setara Institute: Hak Sipil Warga Penghayat Kepercayaan Harus Segera Dipenuhi)

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Kantor Setara, Jakarta, Senin (28/9/2015)KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Kantor Setara, Jakarta, Senin (28/9/2015)

 

Artinya, antara agama dan kepercayaan harus diperlakukan secara sama.

"Bahkan dalam perspekif HAM, non-believers juga harus diperlakukan sama," kata Bonar.

Ia pun mengusulkan agar pemerintah membuat ketentuan sesuai putusan MK. Kolom agama dalam e-KTP tak perlu diubah dan status penghayat kepercayaan dicantumkan tanpa perlu merinci aliran yang dianut.

"Ya dicantumkan saja penghayat kepercayaan tanpa menyebut varian atau aliran kepercayaannya. kolom agama tidak usah diubah," ucap Bonar.

"E-KTP harus seragam, tidak boleh ada pembedaan bagi kelompok-kelompok tertentu. Bahkan menurut kami kolom agama ini tidak terlalu penting di kartu identitas," tuturnya.

Sebelumnya Dewan Pimpinan MUI mengusulkan kepada pemerintah agar membuat e-KTP khusus bagi warga penghayat kepercayaan.

Di dalam e-KTP tersebut dicantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama.

Sementara untuk warga negara yang memeluk agama dan telah mempunyai KTP elektronik, tidak dilakukan perubahan atau penggantian KTP elektronik sama sekali.

"MUI mengusulkan kepada pemerintah agar kepada penghayat kepercayaan diberikan KTP-elektronik yang mencantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama," ujar Ketua bidang Hukum dan Perundang-undangan MUI Basri Bermanda saat memberikan keterangan di kantor MUI, Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2018).

Menurut Basri, pembuatan KTP elektronik untuk warga penghayat kepercayaan dengan kolom khusus adalah solusi terbaik dalam melaksanakan putusan MK. Sebab, MUI memandang agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang berbeda.

(Baca juga: MUI Usulkan e-KTP Khusus Bagi Penghayat Kepercayaan)

"Pembuatan KTP elektronik untuk warga penghayat kepercayaan dengan kolom khusus adalah solusi terbaik bagi bangsa dan negara dalam rangka melaksanakan Putusan MK secara arif dan bijaksana," tuturnya.

Oleh sebab itu Basri mendorong pemerintah segera merealisasikan usulan tersebut agar hal sipil warga penghayat kepercayaan bisa dipenuhi.

"Pembuatan KTP elektronik untuk penghayat kepercayaan tersebut hendaknya dapat segera direalisasikan untuk memenuhi hak warga negara yang masuk kategori penghayat kepercayaan," kata Basri.

Pada kesempatan yang sama, Sekjen MUI Anwar Abbas menampik anggapan bahwa usulan tersebut bersifat diskriminatif.

Ia menuturkan adanya perbedaan antara isi KTP elektronik untuk umat beragama dengan penghayat kepercayaan bukanlah diskriminasi, melainkan bentuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda.

"Adanya perbedaan antara isi KTP elektronik untuk umat beragama dengan penghayat kepercayaan bukanlah pembedaan yang bersifat diskriminatif atau pengistimewaan, namun merupakan bentuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda," tuturnya.

"Warga penghayat kepercayaan punya hak sebagai warga negara untuk mencantumkan kolom kepercayaan dalam KTP elektroniknya sebagai identitas dirinya," kata Anwar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com