AKHIR abad ke-20 ditandai dengan maraknya liberalisasi dan privatisasi industri penerbangan. Fenomena ini terjadi di seluruh belahan dunia, yang berbeda ialah percepatannya. Yang menarik, pada periode yang sama, Perang Dingin turut berakhir.
Perang Dingin nyatanya telah memicu pembangunan pangkalan udara (istilah untuk fungsi militer; bandara untuk penerbangan sipil) pada beberapa negara Eropa.
Setelah ketegangan berakhir, banyak pangkalan udara berhenti beroperasi. Padahal, perlu biaya tidak sedikit untuk membangun suatu pangkalan udara.
Seiring dengan maraknya kehadiran maskapai berbiaya murah (low-fare airline) yang serba hemat, beberapa pangkalan udara menganggur di Eropa telah disulap menjadi bandara.
Salah satunya Warsaw Modlin (WMI), Polandia, yang kini menjadi salah satu basis Ryanair di Eropa Timur. Saat ini Warsaw Modlin dioperasikan sepenuhnya oleh suatu perusahaan swasta serta terdaftar hanya untuk melayani penerbangan komersial sipil.
Bandara Eindhoven (EIN) di Belanda memiliki cerita berbeda dari Warsaw Modlin. Jika bandara Polandia tersebut sudah lepas sepenuhnya dari militer, Eindhoven melayani baik penerbangan komersial sipil maupun militer. Satu skadron angkut berbasis di sini.
Berdasarkan Eindhoven Airport Decree yang dirumuskan antara Menteri Pertahanan dan Menteri Urusan Infrastruktur beserta Lingkungan Hidup Belanda, pengelolaan terminal penumpang diserahkan kepada swasta, yakni Schiphol Group. Sahamnya sendiri dimiliki oleh pemerintah provinsi, pemerintah kota, dan Schiphol Group - tanpa ada kepemilikan militer satu sen pun.
Keberadaan kedua bandara ini terbukti meningkatkan konektivitas penumpang dan kargo ke Belanda dan Polandia yang berpengaruh positif bagi perekonomian daerah. Ekuilibrium pemanfaatan bersama pangkalan udara dapat dikatakan berada pada tingkat teroptimal.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara kepulauan, moda transportasi udara terasa sangat efektif guna merajut konektivitas antarpulau. Didukung dengan meningkatnya jumlah kelas menengah, Indonesia telah menjadi pasar yang begitu menggiurkan bagi maskapai penerbangan.
Premis yang sama berlaku untuk (pembangunan) bandara sebagaimana termasuk dalam proyek strategis nasional. Syarat kehadiran maskapai penerbangan ialah keberadaan bandara yang mumpuni. Mengingat dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, baik pembangunan maupun pengoperasian bandara dinyatakan terbuka untuk investasi lokal dan asing.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal beserta segala peraturan pelaksanannya membuka 49 persen penanaman modal asing untuk jasa kebandarudaraan, bahkan hingga 67 persen bagi pelayanan jasa terkait bandar udara. Angka yang masuk akal dan realistis di tengah keterbatasan dana dan upaya pemerintah meningkatkan konektivitas antardaerah.
Sayangnya, satu pekerjaan rumah penting belum dituntaskan, yakni menerjemahkan ekuilibrium antara pembangunan ekonomi dan pertahanan dalam suatu instrumen hukum. Nama lainnya ialah pengklasifikasian pemanfaatan pangkalan udara untuk penerbangan sipil.
Hal ini penting mengingat banyak pangkalan udara yang "dipaksa" dibuka untuk penerbangan komersial sipil guna menjadi solusi akan keterbatasan infrastruktur maupun lambannya pembangunan bandara di masing-masing daerah.
Beberapa pangkalan udara yang dibuka untuk penerbangan komersial sipil antara lain Halim Perdanakusuma (HLP), Juanda (SUB), dan Abdul Rachman Saleh (MLG). Tidak dipungkiri situasi ini telah berkontribusi positif bagi perekonomian daerah. Namun, jangan dilupakan fungsi utama pangkalan udara ialah untuk pertahanan dan pelaksanaan misi kemanusiaan.