Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Dwi Aryani Mencari Keadilan Setelah Diusir Etihad Airways

Kompas.com - 05/12/2017, 06:57 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dwi Aryani masih merasa alasannya diturunkan dari pesawat Etihad Airways tidak masuk akal. Saat itu, 4 April 2016, Dwi hendak bertolak ke Geneva dalam rangka pelatihan.

Pelatihan tersebut tidak main-main. Ia harus melewati sejumlah seleksi hingga terpilih untuk mengikuti program pelatihan menjadi trainer of trainer penyandang disabilitas.

Dwi sudah melewati beberapa pintu keberangkatan, mulai dari pengecekan barang, check in, pintu imigrasi, hingga masuk ke pesawat. Hanya tinggal beberapa menit menunggu pesawat lepas landas, ia dihampiri petugas pesawat dan diminta turun.

"Salah satu alasannya saya membahayakan penerbangan. Saya bingung, di bagian mana? Saya masih enggak ngerti," ujar Dwi saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (4/12/2017).

Baca juga : Soal Insiden Dwi Aryani, Kemenhub Tegur Etihad Airways

Dwi mengatakan, dalam undang-undang, tak ada aturan yang melarang penyandang disabilitas untuk naik pesawat. Ia pernah melakukan perjalanan dengan maskapai penerbangan lain dari luar negeri, seperti Qatar dan Emirate, masalah tersebut tidak ditemuinya.

Dwi sebelumnya juga pernah menggunakan pesawat Etihad Airways, namun saat itu ia bersama suami dan anaknya yang masih bayi. Ia tidak mengalami kejadian tak menyenangkan sebagaimana tahun lalu.

Dwi mengakui sudah ada permintaan maaf dari pihak maskapai penerbangan, namun dirasa tidak cukup. Ia merasa rugi karena ilmu yang semestinya dia dapatkan di Geneva tak bisa digantikan.

"Ini bukan masalah saya pergi ke luar negeri untuk santai ria, ini sesuatu karena ada proses perjuangan untuk mendapatkan ini. Ada yang mau kita bagikan lagi kepada masyarakat disabilitas di Indonesia," kata Dwi.

Pesawat Etihad Airways bersiap mendarat di Bandara Abu Dhabi, di Uni Emirat Arab, Minggu, 4 Mei 2014. Etihad Airways, menawarkan kenyamanan untuk kelas pertama berupa suite dengan kamar tidur tertutup serta kamar mandi pribadi.AP PHOTO / KAMRAN JEBREILI Pesawat Etihad Airways bersiap mendarat di Bandara Abu Dhabi, di Uni Emirat Arab, Minggu, 4 Mei 2014. Etihad Airways, menawarkan kenyamanan untuk kelas pertama berupa suite dengan kamar tidur tertutup serta kamar mandi pribadi.
Menggugat ke pengadilan

Dwi merasa ada perlakuan diskriminatif terhadap dirinya oleh Etihad Airways. Ia pun membawa kasus ini ke meja hijau pada awal 2017.

Tak hanya Etihad Airways yang dia gugat, tapi juga PT Jasa Angkasa Semesta, dan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Adapun tuntutan Dwi yakni meminta maaf ke lima media nasional serta meminta ganti rugi material dan immaterial. Dwi merasa sangat dirugikan karena tidak bisa berangkat ke Geneva.

Dalam sidang, Dwi menghadirkan sejumlah saksi ahli dari beberapa lembaga, seperti Ombudsman RI, Komnas Perempuan, Komnas HAM, hingga ahli kejiwaan.

"Profesor Irwanto dari UI untuk psikologisnya, bagaimana ini berpengaruh pada psikologis saya," kata Dwi.

Baca juga : Dwi Aryani Terintimidasi Saat Gugatannya Disebut Cari Popularitas

Dwi mengatakan, Etihad Airways menyatakan dalam websitenya bahwa mereka akan melakukan penyelidikan.

Bahkan, dari pihak maskapai pusat juga akan datang secara khusus ke Indonesia untuk meminta maaf. Namun, hingga saat ini Dwi tidak melihat itikad baik sebagaimana tercantum dalam situs.

"Ini pernyataan resmi loh di website-nya, tapi tidak dilakukan, gitu lho. Saya bingungnya itu," kata dia.

Ombudsman sebelumnya telah melakukan pertemuan dengan pihak maskapai penerbangan maupun Kementerian Perhubungan untuk mengklarifikasi. Ombudsman menemukan adanya kesalahan prosedur.

Etihad Airways pun sudah mendapat teguran dari Kemenhub. Dwi berharap, hakim memutuskan gugatan ini dengan seadil-adilnya. Dengan demikian, hak untuk penyandang disabilitas bisa diperjuangkan.

"Kalau ini berhasil, tidak hanya menggerakkan maskapai udara asing, tapi juga maskapai udara nasional untuk menghormati hak disabilitas," kata Dwi.

Majelis hakim PN Jakarta Selatan menggelar sidang putusan terhadap gugatan Dwi Aryani, penyandang disabilitas dari pesawat Etihad Airways, Senin (4/12/2017).KOMPAS.com/AMBARANIE NADIA Majelis hakim PN Jakarta Selatan menggelar sidang putusan terhadap gugatan Dwi Aryani, penyandang disabilitas dari pesawat Etihad Airways, Senin (4/12/2017).
Dianggap cari popularitas

Belum habis rasa kesalnya menghadapi perlakuan diskriminatif, Dwi kembali dibuat meradang dengan jawaban kuasa hukum dari Etihad Airways atas gugatannya ke pengadilan. Dwi dianggap mencari popularitas dengan mengangkat kasus ini.

"Saya mempertanyakan, popularitas yang mana? Sekarang saya tanya, mau tidak orang itu dikenal sebagai nama, di belakang namanya terus dikasih "orang yang diturunkan pesawat Etihad". Itu kan popularitas yang negatif kan," kata Dwi.

Dwi mengatakan, tak ada keuntungan bagi dirinya mencari sensasi dengan menggugat Etihad Airways. Justru ia memperjuangkan hak kaum disabilitas, jangan sampai kejadian serupa terjadi ke depan.

"Manusia tidak ada harganya gitu lho, diperlakukan seperti itu. Seperti barang diseleksi, tidak layak disuruh pergi begitu saja tanpa penjelasan yang pasti," kata Dwi.

Baca juga : Vonis Etihad Airways, Kado Terindah Hari Disabilitas Internasional

Mendengar jawaban pihak Etihad Airways, Dwi mengaku terguncang dan emosi. Ia tak percaya pernyataan semacam itu bisa terlontar dan membuatnya sangat tersudut.

Dwi mengatakan, sempat ada mediasi dari pengadilan antara dirinya dengan pihak tergugat. Maskapai tersebut menawarkan tiket penerbangan ke Eropa untuk dua orang. Namun, Dwi menganggap tawaran tersebut bukan kompensasi yang bisa menyelesaikan masalah begitu saja.

"Ini masalahnya cara anda memperlakukan saya itu udah diskriminasi. Lihat saya pakai kursi roda langsung ngelihat saya enggak boleh terbang," kata Dwi.

Pengacara Happy Sebayang dan kliennya Dwi Ariyani, penumpang Etihad Airways yang diturunkan dari pesawat karena berkursi roda di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (20/11/2017) KOMPAS.com/NIBRAS NADA NAILUFAR Pengacara Happy Sebayang dan kliennya Dwi Ariyani, penumpang Etihad Airways yang diturunkan dari pesawat karena berkursi roda di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (20/11/2017)
Etihad Airways divonis bersalah

Etihad Airways dianggap melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 134 UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam undang-undang tersebut diatur hak penumpang penerbangan berkebutuhan khusus.

Etihad Airways menurunkan Dwi Aryani dari pesawat karena menggunakan roda dua tanpa pendampingan dan dianggap dapat membahayakan penerbangan.

Hakim ketua Ferry Agustina Budi Utami mengatakan, semestinya Etihad Airways selaku maskapai penerbangan wajib memberikan akses, fasilitas, dan pendampingan khusus terhadap penyandang disabilitas.

Baca juga : Etihad Airways Divonis Melanggar Hukum dan Wajib Bayar Ganti Rugi Rp 537 Juta

Apalagi syarat Dwi sebagai penumpang telah terpenuhi, yakni memiliki tiket, melakukan check in, memiliki boarding pass, bahkan sudah masuk pesawat dibantu staff service bandara.

Ferry menambahkan, Dwi tidak dalam kondisi yang membahayakan penerbangan maupun penumpang lain karena tidak dalam keadaan mabuk ataupun membawa bom.

"Menimbang, bahwa tergugat I (Etihad Airways) tidak melakukan kewajibannya, maka dapat dikualifikasikan perbuatan melawan hukum," kata hakim Ferry saat membacakan putusan.

Etihad Airways juga wajib membayar ganti rugi sebagaimana digugat Dwi dalam permohonannya.

Dalam gugatannya, Dwi meminta ganti rugi materil sebesar Rp 178 juta dan imateril sebesar Rp 500 juta. Namun, hakim menimbang ganti rugi materil yang harus dibayarkan hanya Rp 37 juta.

Selain itu, Hakim mengabulkan gugatan ganti rugi imateril sebesar Rp 500 juta karena Dwi merupakan satu-satunya perwakilan Indonesia dalam acara internasional itu dalam rangka pelatihan untuk penyandang disabilitas.

Selain itu, hakim mengabulkan gugatan agar Etihad Airways mengajukan permintaan maaf terbuka melalui media.

"Dari pertimbangan tersebut, maka petitum penggugat dapat dikabulkan sebagian," kata Ferry.

Dwi menganggap, keputusan tersebut merupakan kado terindah untuk Hari Disabilitas Internasional Minggu (3/12/2017) lalu. Ia berharap kejadian yang menimpa dirinya tak terulang kepada penyandang disabilitas lainnya. Ia mengakui bukan upaya yang mudah selama setahun memperjuangkan haknya tersebut.

"Tapi kita bersyukur dapat putusan yang harapannya ke depan bisa bermanfaat bagi rekan-rekan disabilitas," kata Dwi.

Sementara itu, kuasa hukum Etihad Airways, Gerald Saratoga Sarayar enggan menanggapi keputusan hakim.

"Untuk saat ini saya enggak bisa ngasih ngomong apa-apa. Kita sebagai kuasa hukum enggak bisa apa-apa. Apapun nanti entah kita atau dari PT Etihad sendiri," kata Gerald.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Di Hadapan Wapres, Ketum MUI: Kalau Masih Ada Korupsi, Kesejahteraan Rakyat 'Nyantol'

Di Hadapan Wapres, Ketum MUI: Kalau Masih Ada Korupsi, Kesejahteraan Rakyat "Nyantol"

Nasional
Polri Tangkap 5 Tersangka Penipuan Berkedok Email Palsu, 2 di Antaranya WN Nigeria

Polri Tangkap 5 Tersangka Penipuan Berkedok Email Palsu, 2 di Antaranya WN Nigeria

Nasional
Terobosan Menteri Trenggono Bangun Proyek Budi Daya Ikan Nila Salin Senilai Rp 76 Miliar

Terobosan Menteri Trenggono Bangun Proyek Budi Daya Ikan Nila Salin Senilai Rp 76 Miliar

Nasional
Terdakwa Korupsi Tol MBZ Pakai Perusahaan Pribadi untuk Garap Proyek dan Tagih Pembayaran

Terdakwa Korupsi Tol MBZ Pakai Perusahaan Pribadi untuk Garap Proyek dan Tagih Pembayaran

Nasional
Rayakan Ulang Tahun Ke 55, Anies Gelar 'Open House'

Rayakan Ulang Tahun Ke 55, Anies Gelar "Open House"

Nasional
KSAU Tinjau Kesiapan Pengoperasian Jet Tempur Rafale di Lanud Supadio Pontianak

KSAU Tinjau Kesiapan Pengoperasian Jet Tempur Rafale di Lanud Supadio Pontianak

Nasional
Jokowi: Alat Komunikasi Kita Didominasi Impor, Sebabkan Defisit Perdagangan Rp 30 Triliun

Jokowi: Alat Komunikasi Kita Didominasi Impor, Sebabkan Defisit Perdagangan Rp 30 Triliun

Nasional
Wapres Ma’ruf Amin Minta Penyaluran Dana CSR Desa Diperhatikan agar Tepat Sasaran

Wapres Ma’ruf Amin Minta Penyaluran Dana CSR Desa Diperhatikan agar Tepat Sasaran

Nasional
Hakim MK Tegur KPU karena Renvoi Tak Tertib dalam Sengketa Pileg

Hakim MK Tegur KPU karena Renvoi Tak Tertib dalam Sengketa Pileg

Nasional
Soal Silaturahmi Kebangsaan dengan Presiden dan Wapres Terdahulu, Bamsoet: Tinggal Tunggu Jawaban

Soal Silaturahmi Kebangsaan dengan Presiden dan Wapres Terdahulu, Bamsoet: Tinggal Tunggu Jawaban

Nasional
Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Nasional
Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Nasional
Hanya Ada 2 'Supplier' Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Hanya Ada 2 "Supplier" Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Nasional
Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Nasional
KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com