JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Etihad Airways melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 134 UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
Dalam undang-undang tersebut diatur hak penumpang penerbangan berkebutuhan khusus.
Seperti diketahui, Etihad Airways menurunkan Dwi Aryani dari pesawat karena menggunakan roda dua tanpa pendampingan dan dianggap dapat membahayakan penerbangan.
Hakim ketua Ferry Agustina Budi Utami mengatakan, Etihad Airways selaku maskapai penerbangan wajib memberikan akses, fasilitas, dan pendampingan khusus terhadap penyandang disabilitas.
Apalagi syarat Dwi sebagai penumpang telah terpenuhi, yakni memiliki tiket, melakukan check in, memiliki boarding pass, bahkan sudah masuk pesawat dibantu staff service bandara.
"Menimbang, bahwa tergugat I (Etihad Airways) tidak melakukan kewajibannya, maka dapat dikualifikasikan perbuatan melawan hukum," kata hakim Ferry saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (4/12/2017).
Ferry mengatakan, Dwi sebagai penumpang dengan kebutuhan khusus berhak mendapatkan fasilitas tambahan seperti tempat duduk, fasilitas untuk naik dan turun pesawat, fasilitas selama pesawat mengudara, dan sarana lain yang menunjang untuk penyandang disabilitas.
(Baca juga : Jelang Putusan Kasus Etihad Airways, Dwi Aryani Berharap Keadilan bagi Penyandang Disabilitas)
Ditambah lagi, fasilitas khusus tersebut tidak dikenakan biaya ekstra.
"Tergugat I telah melanggar hukum dan melanggar kepatutan serta melakukan diskriminasi terhadap penggungat sebagai penyandang disabilitas," kata hakim.
Selain menggugat Etihad Airways, Dwi juga menggugat PT Jasa Angkasa Semesta, dan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan ke pengadilan.
Hakim memutus, PT JAS dan Dirjen Perhubungan Udara tidak melakukan pelanggaran hukum. Hal ini dikarenakan kedua tergugat itu tidak berperan langsung dalam peristiwa diturunkannya Dwi dari pesawat.
Hakim Ferry mengatakan, PT JAS hanya sebagai ground service yang telah melayani Dwi sebagaimana semestinya. Dwi diberikan fasilitas kursi roda, diberi cap khusus disabilitas pada tiket, dan diantarkan hingga masuk pesawat.
"Hal ini menunjukkan tergugat II (PT JAS) tidak ada kewenangan untuk menerbangkan penggugat atau tidak. Yang membawa atau tidak kewenangan tergugat I (Etihad Airways)," kata hakim.
Ganti Rugi Rp 537 Juta
Karena dinyatakan melanggar hukum, maka Etihad Airways wajib membayar ganti rugi sebagaimana digugat Dwi dalam permohonannya.
Dalam gugatannya, Dwi meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 178 juta dan imateriil sebesar Rp 500 juta. Namun, hakim menimbang ganti rugi materiil yang harus dibayarkan hanya Rp 37 juta.
(Baca juga : Hakim Akan Putuskan Kasus Etihad Airways Tolak Penumpang Berkursi Roda)
Menurut pertimbangan hakim, sejumlah biaya seperti asuransi dan akomodasi ditanggung oleh Disability Right Fund (DRF) sebagai pihak yang mengundang Dwi.
"Menimbang bahwa ganti rugi yamg ditanggung DRF karena sudah diberikan kepada penggugat dan penggugat tidak jadi datang ke sana, maka penggugat punya hak untuk meminta pengembalian atau refund atas perjalanan tiket tersebut," kata Ferry.
Selain itu, Hakim mengabulkan gugatan ganti rugi imateriil sebesar Rp 500 juta karena Dwi merupakan satu-satunya perwakilan Indonesia dalam acara internasional itu dalam rangka pelatihan untuk penyandang disabilitas.
"Dari pertimbangan tersebut, maka petitum penggugat dapat dikabulkan sebagian," kata Ferry.
Selain itu, hakim mengabulkan gugatan untuk mengajukan permintaan maaf di media. Dalam gugatan, Dwi meminta agar Etihad Airways meminta maaf ke sejumlah media elektronik dan cetak. Namun, hakim hanya mengabulkan untuk satu media nasional, yaitu Kompas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.