JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pengurus DPP Partai Golkar belum menginginkan Setya Novanto digantikan posisinya sebagai ketua umum partai.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menuturkan, dalam rapat pleno yang berlangsung Selasa (21/11/2017) berkembang usulan untuk menunggu hsil praperadilan Novanto.
Adapun Novanto saat ini berstatus tersangka kasus korupsi proye e-KTP. Ia ditahan di Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (20/11/2017) dini hari.
"Sebagian di antara pengurus DPP mengatakan bahwa Pak Setya Novanto punya hak sebagai warga negara untuk mencari keadilan. Menurut proses hukum, beliau diberi kesempatan untuk bersidang, untuk praperadilan tersebut," ujar Ace di sela rapat internal di Kantor DPP Partai Golkar, Selasa (21/11/2017).
Baca juga : Dari Dalam Tahanan, Novanto Tulis Surat Tolak Diganti dari Ketua DPR
Namun, Ace menambahkan, belum ada keputusan yang disepakati dari rapat pleno tersebut. Masih ada pula beberapa pengurus yang menyampaikan perlu segera dilaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk menunjuk ketua umum baru.
"Saya tidak mau mengambil kesimpulan karena itu disampaikan tapi belum menjadi satu kesepakatan," ujar Anggota Komisi II DPR itu.
Rapat dimulai pukul 13.30 WIB dan hingga pukul 19.00 WIB belum ada tanda-tanda selesai.
Selain menujuk Plt, muncul pula usulan menggelar Munaslub untuk memilih ketua umum definitif.
Sejumlah pimpinan DPP Golkar disebut menyuarakan Munaslub. DPP Golkar akan memutuskan apakah akan menujuk Plt atau menggelar Munaslub.
Baca juga : Novanto Ketiduran Saat Diperiksa, Kata Pengacara akibat Gangguan di Otak
Dalam rapat, dibacakan pula surat dari Novanto tertanggal 15 November 2017 terkait permintaan Novanto untuk menunjuk Sekjen Partai Golkar Idrus Marham sebagai pelaksana tugas ketua umum.
Setya Novanto ditahan di Rutan KPK pada Senin (20/11/2017) dini hari. Dalam kasus korupsi proyek e-KTP ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek Rp 5,9 triliun tersebut.