JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Sulistiandriatmoko mengaku lembaganya sampai berdarah-darah dalam menghadapi darurat narkoba di Indonesia. Penyebabnya, karena persoalan narkoba masih dipersepsikan merupakan urusan lembaga anti narkoba tersebut sendirian.
Hal tersebut diungkapkan Sulistiandriatmoko, dalam diskusi dengan tema "Stop Narkoba Save Generasi Muda", di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (14/11/2017).
Sulis mengatakan, dalam menangani masalah narkoba, ada tiga pendekatan yang dilakukan yakni pendekatan supply reduction, demand reduction dan harm reduction. BNN memakai dua di antara pendekatan tersebut yakni pendekatan supply reduction dan demand reduction.
Pendekatan supply reduction diketahui bertujuan memutus mata rantai pemasok narkotika mulai dari produsen sampai pada jaringan pengedarnya, sementara pendekatan demand reduction adalah memutus mata rantai para pengguna.
Baca juga : Polisi: Dari 100.000 Tersangka Narkoba, 40 Persen Usia Muda
Untuk urusan supply reduction, Sulis menyatakan BNN bisa dinilai sukses menjalankannya. Namun, dalam hal demand reduction, pihaknya mengakui hal tersebut belum berhasil dilakukan.
Penyebabnya karena keterbatasan anggaran dan personil yang ada untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
"Oleh karena itu demand (reduction) mau tidak mau, suka atau tidak suka, seluruh elemen masyarakat itu terlibat. (Jadi) Jangan salah persepsi urusan narkoba sudahlah urusanya BNN," kata Sulis.
Namun, pihaknya mengeluhkan kementerian dan lembaga lain, sejak Presiden mengungkapkan darurat narkoba pada Februari 2015, belum menunjukan kebijakan yang sejalan dengan yang disuarakan oleh Presiden.
Misalnya dalam hal menyediakan anggaran yang khusus untuk melakukan tes urine kepada pegawainya sendiri, sehingga urusan tes urine saja mesti dilakukan oleh BNN.
Baca juga : Jaringan Pengedar Narkoba Dibekuk, 10 Kg Ganja dan 40 Gram Sabu Disita
Padahal, jika sudah ditetapkan sebagai darurat narkoba, maka perlu ada anggaran, personil, program, dan peralatan yang khusus, dalam merespons darurat narkoba tersebut.
"Sudahkah mengalokasikan anggarannya untuk program darurat narkoba itu. Sudahkah menentukan program-program khusus dengan personilnya, peralatannya untuk mengatasi darurat narkoba itu, saya belum lihat itu," ujar Sulis.
"BNN ini sudah berdarah-darah ini mengatasi darurat narkoba itu, baik dalam pencegahan supply reduction dan demand reduction itu, dengan segala keterbatasannya," ujar Sulis.
Sulis mengungkapkan, total seluruh personil yang dimiliki BNN baik di tingkat pusat, provinsi, kota atau kabupaten yakni 4.700 orang. Padahal, lanjut dia, idealnya yakni 74.000 personel.
"Bisa dibayangkan efektivitas SDM-nya," ujar Sulis.
Baca juga : Istri Wakil Ketua DPRD Bali Ikut Jadi Pengedar dan Pemakai Narkoba
Anggaran satu tahun untuk seluruh BNN baik pusat, provinsi, kota atau kabupaten, tadi Rp 1,3 triliun satu tahun. Menurut Sulis, 70 persennya digunakan untuk membayar gaji pegawai. Sisanya 30 persen untuk pencegahan, rehabilitas, pemberdayaan masyarakat, dan pemberantasan narkoba.
"Faktualnya itu BNN enggak bisa buat apa-apa. Hanya semangat saja yang bisa berprestasi mengungkap berton-ton sabu, (dan) narkotika yang lain," ujar Sulis.