JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan menyatakan berkas penyidikan dugaan korupsi aset Pertamina berupa lahan di Simprug, Jakarta Selatan, sudah lengkap atau P21. Penetapan tersebut dikeluarkan sejak 10 November 2017.
"Kami akan segera lakukan pelimpahan tahap dua namun masih terkendala untuk tersangkanya," ujar Kasubdit V Tipikor Bareskrim Polri AKBP Indarto saat dikonfirmasi, Selasa (14/11/2017).
Untuk melanjutkan perkara ke penuntutan, penyidik harus menyerahkan barang bukti dan tersangka ke jaksa penuntut umum. Namun, tersangka dalam kasus ini, SVP Asset Management PT Pertamina (Persero) Gathot Harsono, masih buron. Ia melarikan diri sejak ditetapkan sebagai tersangka.
"Kami imbau tersangka menyerahkan diri, akan kami perlakukan dengan baik," kata Indarto.
Baca juga : Jadi Tersangka Dana Pensiun Pertamina, Edward Soeryadjaya Dicegah ke Luar Negeri
Indarto juga mengimbau masyarakat yang mengetahui keberadaan tersangka untuk memberi informasi kepada polisi. Jika ada pihak yang membantu Gathot melarikan diri, akan terancam pidana.
Status buron pada Gathot diterbitkan pada Agustus 2017. Namun, Indarto meyakini tersangka tidak ke luar negeri karena sudah dilakukan pencegahan oleh pihak imigrasi.
"Sudah dicekal sejak jadi tersangka," kata Indarto.
Penyidik sebelumnya telah memeriksa mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan Direktur Umum dan SDM PT Pertamina (Persero) Waluyo sebagai saksi dalam kasus ini.
Baca juga : Puluhan Kendaraan Mogok karena Diisi Pertamax Campur Air, Ini Penjelasan Pertamina
Sebelum penetapan tersangka, penyidik menggeledah kantor Pertamina di Simprug. Dari sana, polisi menyita satu unit komputer beserta CPU, dokumen fisik, dan flashdisk. Diduga barang bukti yang disita menyimpan dokumen soal transaksi jual beli tersebut. Tanah Pertamina seluas 1.088 meter persegi di Simprug juga telah disita polisi.
Transaksi jual beli tanah terjadi pada 2011 kepada purnawirawan TNI senilai Rp 1,16 miliar. Semestinya, nilai jual objek pajak (NJOP) tanah tersebut saat itu adalah Rp 9,65 miliar.
Kemudian, beberapa bulan kemudian, tanah tersebut kembali dijual sekitar Rp 10,5 miliar.
Setelah itu Bareskrim mendapatkan laporan dan melakukan penyelidikan hampir enam tahun. Baru pada Januari 2017 kasus itu naik ke tingkat penyidikan.
Dalam proses jual beli, disinyalir tidak dilakukan prosedur yang benar sehingga menimbulkan kerugian negara. Diduga tindakan tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 40,9 miliar.