Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fahri Hamzah Sebut Penetapan Tersangka Novanto "Sandiwara" KPK

Kompas.com - 13/11/2017, 12:49 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

Kompas TV Setya Novanto terus melakukan perlawanan hukum terhadap penetapannya kembali sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP.

"Sekarang kasus apa sih ini sebetulnya? Mastermind-nya enggak diungkap, partai penguasa dilindungi, Golkar diburu ketua umumnya, kerugian negara juga enggak ada. Sekarang apa lagi nih yang mau disandiwarakan?" katanya.

Dalam dakwaan terhadap dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, Novanto diduga menjadi pendorong disetujuinya anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun.

Kesepakatannya, dari anggaran Rp 5,9 triliun, 51 persen anggaran atau sejumlah Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal atau belaja rill proyek.

Sisanya 49 persen atau Rp 2,5 triliun akan dibagi kepada sejumlah pihak.

(Baca juga: Dakwaan Kasus Korupsi e-KTP, Setya Novanto Diberi Jatah Rp 574 Miliar)

Sementara rincian dari 49 persen itu adalah, pejabat Kemendagri direncanakan dapat 7 persen dan sejumlah anggota Komisi II DPR dianggarkan 5 persen.

Selain itu, kepada Novanto dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong 11 persen atau senilai Rp 574.200.000.000. Anas dan Nazaruddin juga direncanakan mendapat 11 persen.

Kemudian, sisa 15 persen akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.

Menurut KPK, uang suap dibagi-bagikan terlebih dahulu sebelum anggaran Rp 5,9 triliun itu disetujui di DPR. Cara korupsi seperti itu dikenal dengan praktik ijon.

"Pada dua tahap awal proyek, kami menemukan indikasi yang disebut dengan praktik ijon," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta pada 7 Maret 2017.

(Baca: KPK: Ada Praktik Ijon dalam Kasus Korupsi e-KTP)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com