JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Dwi Widodo, menyatakan keberatan dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu disampaikan Dwi Widodo saat membacakan pleidoi di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (11/10/2017).
Dwi Widodo merupakan terdakwa pada kasus suap terkait dengan proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out pada 2016 dan proses penerbitan calling visa pada periode 2013-2016 di KBRI Kuala Lumpur.
Keberatan Dwi, misalnya soal penerimaan uang dalam pelaksanaan kegiatan reach out. Menurut Dwi, ada perbedaan total uang yang disebutkan jaksa dengan yang sebenarnya ia terima.
"Jumlah totalnya adalah 49.250 ringgit Malaysia, bukan sejumlah 63.500 ringgit Malaysia sebagaimana dakwaan maupun tuntutan jaksa penuntut umum," kata Dwi, di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (11/10/2017).
(Baca juga: Mantan Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur Dituntut Lima Tahun Penjara)
Kemudian, Dwi Widodo membenarkan telah menerima uang sebesar Rp 535.157.102 dalam kurun waktu selama 2013-2016, sebagaimana yang didakwa dan di surat tuntutan.
Namun, ia membantah uang itu dimiliki dan dikuasai pribadi. Menurut dia, itu tak digunakan selain untuk pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penerbitan calling visa, dan untuk kegiatan operasional bidang imigrasi pada KBRI Kuala Lumpur.
Menurut Dwi, hal itu sesuai dengan keterangan saksi Elly Yanuarin Dewi, selaku bendahara, dalam sidang dan BAP.
Dalam kurun waktu 2013-2016, lanjut Dwi, dirinya telah menyerahkan uang antara lain tahun 2014 dengan lima kali pemberian sebesar total 13.500 RM.
Pada 2015 diserahkan sebanyak 7 kali pemberian dengan jumlah total 31.500 RM. Selanjutnya pada 2016 diserahkan total 35.000 RM, sehingga total yang ia serahkan 80.000 RM atau setara Rp 270 juta rupiah
"Hal ini untuk kegiatan operasional di bidang imigrasi KBRI Kuala Lumpur," ujar Dwi.
Kemudian, ia juga keberatan dengan tuntutan jaksa yang menyatakan uang Rp 535.157.102 merupakan kerugian negara.
(Baca juga: Mantan Atase di KBRI Kuala Lumpur Dituntut Bayar Uang Pengganti Rp 535 Juta)
Sebab, lanjut Dwi, uang tersebut secara fakta dan nyata diperoleh dari pihak sponsor sebagai ucapan terima kasih atas bantuannya untuk mengurus, meneruskan permohonan calling visa melalui berita faks dan penerbitan calling visa setelah mendapat persetujuan dari Ditjen Imigrasi.
"Sehingga tidak tepat kiranya apabila saya harus ganti kerugian tersebut. Karena selain tidak ada uang negara yang saya ambil atau saya gunakan, dan uang tersebut juga tidak sepenuhnya saya kuasai atau saya miliki," ujar Dwi.
"Demikian juga kalau dikaitkan dengan penerbiatan visa atau paspor bahwa tidak mungkin paspor atau paspor keluar kalau tidak dibayar terlebih dahulu. Jadi harus dibayar terlebih dahulu baru paspor itu dapat keluar dan calling visa dapat keluar," ujar Dwi.