JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang telah dipakai pada perkara sebelumnya untuk menjerat tersangka yang memenangkan praperadilan.
Hal ini merupakan salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi terhadap Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Uji materi teregistrasi dengan nomor perkara 42/PUU-XV/2017.
Namun demikian, menurut MK, alat bukti tersebut harus disempurnakan secara substansial dan bukan sebagai alat bukti yang sifatnya formalitas semata. Sehingga, dapat dikatakan sebagai alat bukti baru.
"Dalam menggunakan alat bukti sebagai dasar penyidikan kembali adalah alat bukti yang telah dipertegas oleh Mahkamah, yaitu meskipun alat bukti tersebut tidak baru dan masih berkaitan dengan perkara sebelumnya akan tetapi adalah alat bukti yang telah disempurnakan secara substansial dan tidak bersifat formalitas semata sehingga pada dasarnya alat bukti yang dimaksud telah menjadi alat bukti baru yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya," kata hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dalam sidang putusan uji materi yang digelar di MK, Jakarta, Selasa (10/10/2017).
(Baca: Pimpinan KPK Pastikan Akan Ada Sprindik Baru untuk Setya Novanto)
Manahan mengatakan, praperadilan hanya berkenaan dengan prosedur tata cara penanganan seorang tersangka yang diduga kuat melakukan tindak pidana. Langkah hukum ini sebagai fungsi checks and balances untuk membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia dalam penetapan seseorang sebagai tersangka.
Namun demikian, praperadilan tidak serta-merta menutup peluang bagi penyidik untuk kembali melakukan pendalaman kasus dan menerbitkan sprindik perintah dimulainya penyidikan (sprindik) baru agar orang yang terindikasi kuat terlibat perkara tersebut kembali ditetapkan sebagai tersangka.
"Pada prinsipnya, praperadilan bertujuan menempatkan kedudukan yang sama dihadapan hukum acara pidana dengan cara menegakkan suatu mekanisme kontrol terhadap adanya kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum...," kata Manahan.
(Baca: Jika KPK Tersangkakan Lagi Setya Novanto, Kuasa Hukum Bakal Lapor Polisi)
Putusan praperadilan dan tidak diperbolehkannya alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya sempat menjadi polemik dalam perkara gugatan Setya Novanto.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, memenangkan praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto pasca penetapannya sebagai tersangka. KPK menduga Setya terlibat kasus korupsi proyek e-KTP.
Cepi juga menilai alat bukti yang diajukan berasal dari penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi E-KTP.
Menurut Cepi, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.