Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan KPK Terkait Penetapan Tersangka Novanto di Awal Penyidikan

Kompas.com - 30/09/2017, 06:40 WIB
Moh. Nadlir

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim tunggal praperadilan Ketua DPR RI, Setya Novanto yakni Cepi Iskandar menganggap penetapan tersangka Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah.

Alasannya, penetapan Novanto sebagai tersangka telah dilakukan di awal penyidikan. Harusnya, penetapan itu dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara, demi menjaga harkat dan martabat seseorang.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan bahwa pemahaman penetapan tersangka dilakukan di akhir proses penyidikan itu lebih didasarkan pada KUHAP semata. Padahal, Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK mengatur sejumlah ketentuan khusus.

"Kami memahami dan itu sudah berlaku hampir di semua perkara yang ditangani oleh KPK sampai dengan saat ini," kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (29/9/2017).

Baca: Hakim Cepi: Tak Sah Penetapan Tersangka Setya Novanto oleh KPK

Menurut Febri, dalam UU No 30/2002 tentang KPK juga diatur secara khusus, misalnya ketika dalam proses penyelidikan, KPK sudah bisa mengumpulkan alat bukti. Ketika ditemukan dua alat bukti, maka bisa ditingkatkan ke penyidikan.

"Itu artinya, ketika alat bukti sudah ditemukan maka KPK bisa menduga siapa yang menjadi tersangka dalam sebuah kasus tindak pidana korupsi," ucap Febri.

Oleh karenanya, Febri merasa janggal dengan pertimbangan hakim praperadilan tersebut. Alasannya selama ini, mekanisme dan proses yang sama juga diterapkan bagi semua "pasien" lembaga anti-rasuah.

Baca: Ini Pertimbangan Hakim Cepi Batalkan Status Tersangka Setya Novanto

"Itulah yang kami terapkan selama ini dan semua kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap yang kami bawa ke pengadilan itu divonis bersalah sampai di hari ini," ujar Febri.

Jumat kemarin, hakim Cepi Iskandar menerima sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Novanto. Dalam putusannya, penetapan tersangka Novanto oleh KPK dianggap tidak sah. Menurut hakim, KPK harus menghentikan penyidikan kasus Novanto.

Baca: KPK Beberkan Kejanggalan Putusan Praperadilan Setya Novanto

Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu. Ia lalu mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada 4 September 2017. Gugatan terdaftar dalam nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel.

Novanto keberatan atas status tersangka dari KPK. Ketua Umum Partai Golkar ini diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.

Novanto sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.

Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

Pihak Novanto sebelumnya meminta KPK mengentikan sementara penyidikan hingga ada putusan praperadilan. Novanto dua kali tak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka lantaran dirawat di rumah sakit.

Kompas TV KPK telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif untuk menghadapi kemungkinan hukum dalam kasus ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com