Epik lain, perilaku mengutip dan membagi juga terjadi di ruang akademik. Meski melakukannya dengan persyaratan yang tepat seperti membubuhkan referensi dan catatan kaki.
Tapi prosesnya tidak banyak berubah dan referensi tersebut tidak terjadi pengayaan dari waktu ke waktu. Hal ini bisa terlihat dari referensi yang sama digunakan dalam skripsi atau penelitian pranata awal masih yang itu-itu saja.
Beranak pinak, turun temurun. Meski legal secara administratif, namun tumpul secara gagasan.
Dari itu semua, kita bisa menemukan bahwa budaya copy paste ternyata tidak hanya terjadi di ruang-ruang kuliah, namun telah menjadi intisari negatif yang justru kini merebak terjadi di ruang publik. Diproduksi serta disebarluaskan dalam sistem viral dan sharing berbekal jejaring obrolan media sosial.
Dus, ampuhnya hingga masuk ke ruang-ruang kecil personal. Tragisnya yang dibagi bukanlah narasi cerdas, gagasan besar atau nilai baik. Berputar-putar pesan buruk tersebut di berbagai lini medsos seperti WhatsApp Group (WAG), Facebook dan lain sebagainya hingga pada akhirnya membuat penghuninya muntah (left) dan marah (spamming).
Siapa yang diuntungkan dengan kondisi seperti ini? Orang yang memiliki literasi yang baik namun bermotif jahat. Mereka yang serius membuat propaganda dan hoax, menginginkan kita berkonflik secara permanen.
Maklumat untuk para pegiat pesan
Bercermin pada kondisi di atas, tulisan ini secara khusus ingin mengamanatkan dan mengajak para pegiat pesan untuk meningkatkan narasi bangsa. Siapa pegiat pesan itu? Para akademisi dan praktisi Public Relations (PR), advertising dan jurnalistik.
Karena merekalah yang sehari-hari berkecimpung dengan pesan dan segala formulanya, berkontestasi di persepsi publik dan mempersuasi mereka.
Bukan hanya melawan segala bentuk hoaks, tapi juga berikhtiar membangun early warning system yang permanen dan teruji dengan meningkatkan selera literasi bangsa.
Rob Key, President dan sekaligus seorang Chief Executive Organization (CEO) di Converseon memperingatkan kita seputar taktik negatif dalam PR.
Dirinya mengatakan serangan-serangan sekitar reputasi biasanya dicirikan oleh sekelompok Individu atau organisasi yang menerbitkan fakta yang merusak atau fiktif berkenaan suatu organisasi yang kemudian didistribusikan secara global melalui media sosial seperti blog, ruang chat, e-mail, newsgroup dan situs web.
Berikhtiar menghalau informasi yang salah tentu tidak mudah, capek. Penuh onak dan duri, sudah pasti. Tapi inilah cara terbaik yang bisa kita tempuh bersama.
Mmengambil manfaat dari lubang informasi
Sejujurnya, ada beberapa contoh baik terkait lubang informasi ini yang pada akhirnya mengubah tatanan kehidupan, kebiasaan bahkan bangsa. Salah satu fakta yang bisa dihamparkan adalah detik-detik kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Dalam kronologis yang singkat, duo Proklamator Soekarno dan Hatta "diculik" ke Rengasdengklok hingga kemudian "dipaksa" membacakan Proklamasi Kemerdekan di Pengangsaan Timur seluruhnya diawali oleh lubang informasi yang dibuat oleh Pemerintah Jepang.
Di zaman itu saja dengan keterbatasan informasi, ekspresi pengambilan keputusan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia.
Jika saja tidak ada sebagian pemuda indonesia terdidik yang sadar dan paham dengan isi siaran Radio luar negeri terkait kekalahan Jepang dari sekutu tentu saja situasi akan sangat jauh berbeda.
Masihkan kita tetap berputus asa?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.