JAKARTA, KOMPAS.com - Andi Agustinus alias Andi Narogong bukan seorang yang ahli di bidang teknologi. Ia juga bukan lulusan dari perguruan tinggi mana pun. Bahkan, Andi tak pernah merasakan pendidikan di tingkat sekolah menengah atas.
Namun, siapa sangka pria yang hanya lulusan sekolah menengah pertama (SMP) itu bisa mengendalikan proyek nasional senilai Rp 5,9 triliun. Andi bahkan mengendalikan dari mulai proses pembahasan anggaran, hingga pengadaan dalam proyek pembuatan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Andi yang kini berusia 44 tahun itu harus duduk di kursi terdakwa. Ia diseret ke pengadilan karena diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun dalam proyek pengadaan e-KTP.
Representasi Setya Novanto
Kemampuan Andi mengendalikan proyek e-KTP dinilai tak lepas dari kedekatannya dengan Ketua DPR Setya Novanto. Dalam surat dakwaan, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Andi sebagai representasi Setya Novanto.
Menurut jaksa KPK, sejak awal pembahasan anggaran, Andi secara aktif melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait dalam pembuatan e-KTP. Andi pernah melakukan pertemuan dengan sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri dan Setya Novanto di sebuah hotel di Jakarta.
Saat itu, Setya Novanto dianggap sebagai representasi Partai Golkar yang dikenal sebagai kunci anggaran di DPR.
(Baca: Jaksa KPK: Andi Narogong Representasi Setya Novanto)
Andi Narogong pernah membagikan uang kepada pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Penyerahan uang itu dilakukan di ruang kerja Ketua Fraksi Partai Golkar, yang saat itu masih dijabat oleh Setya Novanto.
"Setelah adanya kepastian tersedianya anggaran untuk proyek pengadaan e-KTP, bertempat di Lantai 12 Gedung DPR, terdakwa beberapa kali memberikan uang kepada pimpinan Banggar," ujar jaksa KPK Wawan Yunarwanto.
Menurut jaksa, Andi menyerahkan 3,3 juta dollar AS kepada pimpinan Banggar DPR.
Sebelum itu, Andi juga menyerahkan uang kepada anggota Komisi II dan Banggar DPR. Penyerahan dilakukan di Gedung DPR Senayan, sekitar bulan September-Oktober 2010.
Menurut jaksa, saat itu Andi menggelontorkan uang 2,8 juta dollar AS. Uang itu diberikan agar Komisi II dan Banggar menyetujui anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun
Mengatur lelang dan pengadaan
Andi Narogong secara sengaja membentuk tiga konsorsium untuk mengikuti lelang proyek pengadaan e-KTP.
Beberapa saksi dalam persidangan sebelumnya menjelaskan bahwa mendekati pengumuman pembukaan lelang, Andi dan sejumlah pengusaha yang berkumpul di Ruko Fatmawati, mengumpulkan 10 perusahaan yang disiapkan menangani proyek e-KTP. Saat itu, mereka yang disebut sebagai Tim Fatmawati mempercepat pembuatan akta notaris konsorsium.
Andi kemudian membuat tiga konsorsium yakni, Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), Konsorsium Astragraphia, dan Konsorsium Murakabi Sejahtera.
Sejak awal, Konsorsium PNRI telah ditentukan untuk menjadi pemenang lelang. Sementara, konsorsium lain yang dibentuk, hanya sebagai pendamping proses lelang.
(Baca: Andi Narogong dan Nazaruddin Atur Pembagian Uang ke Pejabat hingga Politisi)
Setelah anggaran e-KTP disetujui sebesar Rp 5,9 triliun, Andi membuat kesepakatan dengan Novanto, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin, tentang rencana penggunaan anggaran.
Dalam kesepakatan itu, sebesar 51 persen anggaran, atau sejumlah Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal atau belaja rill proyek. Sedangkan, sisanya sebesar 49 persen atau sejumlah Rp 2,5 triliun akan dibagikan kepada pejabat Kemendagri 7 persen, dan anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen.
Selain itu, kepada Setya Novanto dan Andi sebesar 11 persen, serta kepada Anas dan Nazaruddin sebesar 11 persen.
Kemudian, sisa 15 persen akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
Dalam proyek ini, Andi bersama-sama pengusaha dan panitia pengadaan di Kemendagri kemudian merekayasa harga dalam pengadaan. Mereka menggelembungkan harga, agar seolah anggaran yang dibutuhkan benar-benar mencapai Rp 5,9 triliun.