JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Syamsuddin Alimsyah mengatakan, tak ada alasan bagi Presiden Joko Widodo untuk menunda menandatangani UU Pemilu yang telah disahkan DPR pada 21 Juli lalu.
Hingga saat ini, UU Pemilu belum ditandatangani Presiden sehingga belum tercatat di lembaran negara dan belum diundangkan.
Sejumlah pihak pun mendesak agar Presiden segera menandatangani UU Pemilu.
Alasannya, pembahasan RUU Pemilu hingga pengesahannya sudah memakan waktu lama yaitu 9 bulan.
Selain itu, UU ini merupakan inisiatif pemerintah dan di dalamnya telah mengakomodasi usulan pemerintah, terutama untuk sejumlah isu krusial.
"Sehingga tidak ada satu argumentasi yang bisa kita terima untuk pemerintah ini menunda," kata dia dalam diskusi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Syamsudin mengatakan, setelah 30 hari disahkan, UU akan mendapatkan nomor dari Kementerian Hukum dan HAM.
Akan tetapi, ia berharap, prosesnya akan lebih cepat sehingga penyelenggara pemilu bisa mempersiapkan tahapan pemilu.
"Ada kesan tidak bagus, kalau misalnya undang-undang itu diundangkan tanpa tanda tangan Presiden, karena ini inisiatifnya pemerintah," ujar Syamsudin.
Sementara itu, Deputi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khairunnisa Nur Agustyati mengatakan, berbagai gugatan terhadap UU Pemilu yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga belum bisa diproses karena UU Pemilu belum memiliki nomor.
Dikhawatirkan, proses hukum yang lebih lama kan mengganggu jalannya tahapan, sehingga memengaruhi kualitas pemilu.
"Kami mendesak Presiden untuk segera memberikan nomor. Karena potensi gugatan ke MK sudah ada. Semakin lama akan semakin molor," kata dia.