Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MKD Tak Jatuhkan Sanksi kepada Setya Novanto Meski Jadi Tersangka

Kompas.com - 19/07/2017, 17:23 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI telah bersidang pasca-ditetapkanya Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Novanto terjerat kasus tersebut saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR periode 2009-2014.

Anggota MKD DPR Muhammad Syafii menyampaikan, rapat MKD terkait kasus Setya Novanto tersebut digelar Selasa (18/7/2017) siang. Hasilnya, MKD tak memproses status Novanto sebagai tersangka.

"Karena ini menjadi sorotan publik, kami enggak menunggu aduan harus kami proses," ucap Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/7/2017).

Dua alasan melatarbelakangi keputusan MKD tak memproses lebih lanjut status tersangka Novanto. Pertama, sesuai Pasal 244 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), seorang anggota dewan baru bisa diproses untuk dinonaktifkan jika berstatus terdakwa. Sedangkan Novanto saat ini masih berstatus tersangka.

"Alasan logisnya karena dia masih punya hak untuk praperadilan," kata dia.

(Baca: Golkar Tidak Cari Pengganti Setya Novanto karena Tak Ingin Pecah)

Kedua, penyidik masih membutuhkan kelengkapan alat bukti untuk bisa dilimpahkan ke tahap penuntutan.

"Sebelum itu terpenuhi, maka MKD belum bisa bersikap apa-apa," ucap Politisi Partai Gerindra itu.

Novanto juga tak diberhentikan karena aturan pemberhentian ada pada Pasal 87 UU MD3. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa seseorang hanya bisa berhenti dari jabatannya karena alasan meninggal dunia, mengundurkan diri, berhalangan tetap, ditarik oleh partainya atau diberhentikan karena sudah mendapatkan keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan atas tindak pidana yang diancam oleh hukuman di atas lima tahun.

"Jadi harus inkrah di pengadilan lalu bisa diberhentikan," kata politisi yang kerap disapa Romo Syafii itu.

(Baca: Setya Novanto: Sebagai Manusia Biasa, Saya Kaget...)

Sekalipun ada pengaduan yang masuk untuk Novanto, kata dia, maka hasil MKD akan tetap sama. Adapun rapat tersebut dihadiri oleh hampir semua anggota MKD. Hanya tiga orang yang tak hadir.

"(Yang) izin Pak Sudding, Pak Zainut Tauhid sama Pak Maman," tutur Anggota Komisi III DPR itu.

KPK menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka. Ketua Umum Partai Golkar itu diduga terlibat dalam korupsi proyek pengadaan e-KTP.

"KPK menetapkan saudara SN anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).

Menurut Agus, Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi. Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan.

(Baca: Setya Novanto Tersangka, Apa yang Sebaiknya Dilakukan Golkar?)

Jaksa KPK sebelumnya meyakini adanya peran Setya Novanto dalam korupsi proyek e-KTP. Jaksa yakin tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu dilakukan bersama-sama Setya Novanto.

Hal itu dijelaskan jaksa KPK saat membacakan surat tuntutan terhadap dua terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/6/2017).

"Telah terjadi kerja sama yang erat dan sadar yang dilakukan para terdakwa dengan Setya Novanto, Diah Anggraini, Drajat Wisnu, Isnu Edhi dan Andi Agustinus alias Andi Narogong," ujar jaksa KPK Mufti Nur Irawan saat membacakan surat tuntutan.

Sebelumnya, Novanto menyatakan tetap akan menjalankan tugas Ketua DPR meski berstatus tersangka kasus dugaan korupsi.

Dalam Pasal 87 ayat 1 UU MD3 diatur bahwa Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan.

Jika pimpinan KPK terjerat kasus pidana, dalam ayat 2 huruf c diatur pemberhentian bisa dilakukan ketika dinyatakan bersalah dalam putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap karena melakukan pidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com