KOMPAS.com - Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta kembali berdengung. Hal yang orang kerap lupa, Jakarta adalah ibu kota sekaligus pusat pemerintahan, bahkan juga pusat bisnis.
Pertanyaannya, dalam konteks wacana pemindahan ibu kota, apa status perpindahan dari Jakarta, pusat pemerintahan atau sekaligus ibu kota?
"Harus dilihat dulu tujuan dari rencana ini apa. Kebutuhan apa yang mau dijawab dari wacana pemindahan tersebut? Kebutuhan publik, kebutuhan jalannya pemerintahan, kebutuhan jalannya negara lebih cepat, atau apa?" kata pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, saat dihubungi lewat telepon, Rabu (5/7/2017).
Dari situ, lanjut Zainal, baru bisa dibahas lebih lanjut apa yang mau dipindah dari Jakarta dan ke mana pemindahannya. Meski demikian, dia berpendapat, Jakarta memang sudah tidak layak menjadi lokasi dari pusat pemerintahan dan layanan publik.
"Macet saja, misalnya, sudah bikin urusan lama, pemerintahan sudah terganggu. Belum yang banjir dan sebagainya," kata Zainal.
Kalau memang kebutuhan yang hendak dijawab adalah soal efektivitas pemerintahan dan layanan publik, menurut dia yang dipindah cukup pusat pemerintahan.
Contoh terdekat sebagai rujukan adalah pemindahan pusat pemerintahan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, sementara Ibu Kota Malaysia tetap di Kuala Lumpur. Itu pun, lanjut Zainal, implikasinya besar.
"Kalau terkait pemerintahan, semua dipindah. Semua perangkat termasuk markas TNI," sebut dia.
Bila Putrajaya dan Kuala Lumpur jaraknya bisa dibilang sepelemparan batu, lanjut Zainal, Indonesia punya pilihan lokasi sampai ke seberang Pulau Jawa.
Berhitung implikasi yang mungkin timbul, Zainal berpandangan, pemindahan pusat pemerintahan tak harus mengambil lokasi yang jauh dari Jakarta.
"Ide (pemindahan pusat pemerintahan ke) Jonggol lebih menarik. Mirip betul dengan (pemindahan pusat pemerintahan Malaysia ke) Putrajaya," ujar Zainal.
Wacana pemindahan pusat pemerintahan ke Jonggol yang disitir Zainal, terakhir kali mencuat pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Istilah "Greater Jakarta" pun dimunculkan saat itu.
Sejak 1900-an
Namun, sejarawan JJ Rizal mengungkapkan, ide tersebut sebenarnya kelanjutan dari wacana megapolitan yang diangkat lagi oleh Soekarno pada era 1960-an.
Konsep tersebut, tutur Rizal, sudah lebih dulu ada pada awal era 1900-an, berdasarkan kajian para penutur bahasa, terkait desentralisasi dan penataan ruang Indonesia.
Sayangnya, kata Rizal, Soekarno efektif memerintah hanya pada kurun 1959-1965, sehingga ide ini belum sempat terwujud.
"Jadi, Ali Sadikin mengantarkan konsep itu ke Sutiyoso, lalu Sutiyoso mengantarkan konsep megapolitan itu ke SBY. Idenya diterima SBY tapi disimplifikasi jadi pemindahan ibu kota. Soal kenapa tak pakai nama megapolitan, mungkin ada sejarah lain," ujar Rizal, lewat pembicaraan telepon, Rabu.
"Jadi Jakarta punya sabuk hijau, biru, dan abu-abu. Itu bagian dari orientasi baru Soekarno tentang keindonesiaan, membagi beban Jakarta ke daerah sekitar dengan mengambil inspirasi dari ruh keindonesiaan," kata Rizal.
(Baca juga: Benarkah Soekarno Ingin Pindahkan Ibu Kota ke Palangkaraya?)
Bukan cuma soal Jakarta
Pendapat lain datang pula dari Andrinof Chaniago, mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas sekaligus perancang Visi Indonesia 2033.
Andrinof satu pandangan dengan Zainal bahwa kondisi Jakarta sudah tidak layak terutama sebagai pusat pemerintahan. Pemindahan pusat pemerintahan bahkan sekaligus ibu kota dari Jakarta, sebut dia setidaknya sejak 2008, sudah niscaya.
Namun, Andrinof menegaskan, wacana pemindahan ini bukan semata soal Jakarta.
"Ini penataan ulang tata ruang se-Indonesia. Jakarta hanya salah satunya," kata dia lewat pembicaraan telepon, Rabu.
Jawa, kata dia, sudah kelebihan beban, baik soal ekosistem maupun populasi penduduk. Hampir 60 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa, padahal luas daratannya tak sampai 7 persen daratan Indonesia.
"Dengan ini kita melihat usulan pemindahan ibu kota dalam kerangka menata Indonesia, bukan hanya menata Jakarta. Menata Indonesia berarti menata Jabodetabek, Jawa, antarpulau, barat-timur. (Menata untuk) kepentingan bangsa yang lebih besar," papar Andrinof.
(Baca juga: Wacana Memindahkan Ibu Kota dan Keberanian Mengembangkan Kota Lain)
Terlebih lagi, lanjut dia, wacana ini sudah berasa musiman munculnya. "Kalau sudah musiman, ada sesuatu yang memang dirasakan masyarakat," kata dia.
Karena itu, Andrinof sependapat bila sekarang sudah waktunya melakukan kajian serius soal pemindahan ibu kota dan atau pusat pemerintahan dari Jakarta.
"(Kajian serius) supaya kelihatan opsi-opsinya. Jangan dibiarkan wacana hidup tenggelam. Harus melangkah," ujar dia.
Selama menjabat menteri, Andrinof mengaku sudah mengajukan sejumlah opsi tujuan pemindahan. "Sekarang tinggal dikembangkan dan dipertajam. Itu juga saya dorong terus," ucap dia.
Soal apa yang sebenarnya perlu dipindah dari Jakarta, Andrinof tak mempersoalkan bila hanya pusat pemerintahan.
Implikasinya, menurut Andrinof, memang bisa sampai ke amandemen konsitusi dan revisi sejumlah peraturan perundangan. Amandemen terkait klausul bahwa Presiden harus berkedudukan di Ibu Kota.
Bila yang berpindah hanya pusat pemerintahan sementara Ibu Kota Indonesia tetap Jakarta, mau tidak mau klausul dalam konstitusi itu harus disesuaikan.
Revisi peraturan perundangan, yang paling kentara tentu saja terkait UU tentang kekhususan Jakarta sebagai ibu kota, terutama soal status sebagai kota pemerintahan.
"Ini Indonesia memang seharusnya sudah masuk fase baru kalau kajian lanjutan sudah mulai dilakukan. Fokusnya adalah manfaat yang lebih besar," tutur Andrinof.
(Baca juga: Pemerintah Dinilai Tak Transparan soal Rencana Pemindahan Ibu Kota)
Adapun soal target 2018 yang disebut Bambang terkait wacana pemindahan tersebut, Andrinof melihatnya sebagai tenggat waktu untuk penuntasan rencana, termasuk regulasi.
"(Target itu) bukan sampai tahap pematangan lahan apalagi fisik," ujar Andrinof.
Andrinof memperkirakan perencanaan kelembagaan termasuk regulasi dan keputusan politik akan makan waktu dua sampai tiga tahun.
Total waktu yang dibutuhkan untuk realisasi pemindahan, menurut dia di kisaran 10 tahun, merujuk praktik dari 20-an negara yang sudah melakukannya lebih dulu.
Soal kebutuhan biaya, Andrinof berkeyakinan tak akan ada banyak perubahan signifikan pada postur anggaran negara untuk membiayai realisasi wacana ini.
"Sekarang anggaran infrastruktur sekitar Rp 250 triliun sampai Rp 300 triliun per tahun. Ambil Rp 20 triliun untuk (alokasi ke realisasi wacana) itu, bisa kok diarahkan. Yang semula untuk alokasi Jabodetabek digeser. Tak ada beban signifikan, soal prioritas strategis saja," tutur dia.
Dari semua kajian yang ada, Andrinof memberi sinyal bahwa gambaran umum sudah di tangan pemerintah.
Sapu jagat
Meski demikian Zainal dan Rizal memberi peringatan ada kepentingan lain di balik pertimbangan kebutuhan dan kondisi terkini Jakarta.
"Saya menduga, sudah terlalu banyak bahasan untuk ke sana. Tak hanya soal efektivitas pemerintahan, jangan-jangan bahasan politik dan lain-lain masuk pula," ujar Zainal.
Bukan berarti, kata Zainal, perspektif lain di balik kembali mencuatnya wacana pemindahan ibu kota ini berarti negatif. Justru, kata dia, semua sudut pandang tersebut juga harus dilihat.
"Memulai (tahapan lanjutan pada) 2018, silakan, tapi perlu pengayaan. Mau kemana (pindahnya), magnitude dari kepindahan itu, belum lagi hitungan uangnya," kata Zainal.
Rizal menyikapi mencuatnya kembali wacana pemindahan ibu kota kali ini dengan lebih skeptis.
"Wacana ini kayak sapu jagat. Ketika persoalan-persoalan Jakarta tak juga menemukan jawaban, cara paling gampang bikin orang diam itu dengan pindah ibu kota," tutur Rizal.
(Baca juga: Timbul Tenggelamnya Wacana Pemindahan Ibu Kota)
Dalam diskusi-diskusi yang muncul dari tahun ke tahun soal wacana ini, lanjut Rizal, kuat pula aura "yang penting tak ada sentralisasi di Jakarta dan Jawa".
Dari situ pula, kata Rizal, dalih nostalgia seolah Soekarno pun pernah berniat memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Palangkaraya menemukan benang merah.
"Seolah Soekarno pun mau menghancurkan sentralisasi," ujar dia.
Soal Ibu Kota, Rizal juga menjelaskan panjang lebar, bahwa Soekarno pada akhirnya berketetapan menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota.
Menurut Rizal, Soekarno tak mendapati kota lain di Indonesia yang punya identitas khas seperti Jakarta yang menjadi wadah tumbuhnya nasionalisme di Indonesia.
Dari situlah kemudian lahir proyek-proyek mercusuar. Proyek ini tak lalu mempertahankan konsep Batavia—nama lama Jakarta—begitu saja.
"Tak menghilangkan jejak Batavia tapi dibangun dengan konsep modern dan menghadirkan ruh inspirasi keindonesiaan dan masa lalu Indonesia," ujar Rizal.
Itulah kenapa, ungkap Rizal, Jakarta sebagai Ibu Kota Negara punya banyak bangunan dan monumen yang unsur-unsurnya mewakili ornamen suku bangsa dan kerajaan lama di Indonesia.
"Inilah Jakarta sebagai wajah muka Indonesia, wajah muka politik, bukan wajah muka ekonomi, kata-kata yang sering dipakai Soekarno tentang Jakarta," kata Rizal.
Jadi, apa yang mau dipindah sekarang? Ibu Kota? Pusat pemerintahan? Atau keduanya sekaligus? Hingga saat ini, pemerintah belum mengungkapnya secara detail.