JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) terus mengalami penundaan. Dalam satu pekan terakhir saja, setidaknya ada dua kali penundaan dalam penentuan keputusan lima isu krusial.
Poin ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) disebut-sebut menjadi yang paling alot. Enam paket opsi isu krusial pun dikeluarkan.
Presidential threshold yang berbeda-beda disiapkan dan dipadukan dengan empat isu krusial lainnya. Hal itu dilakukan agar pengambilan keputusan semakin mudah dan dengan harapan tak berujung pada voting di sidang paripurna.
Presidential threshold mengerucut pada tiga opsi, yakni 0 persen, 10-15 persen dan 20-25 persen. Menjadi hal yang menarik, ketika partai-partai pendukung pemerintah rupanya tak kompak dalam isu ini.
Pemerintah mengusulkan 20-25 persen, yakni 20 persen kursi dan 25 suara nasional. Tiga partai yang satu suara dengan pemerintah, yakni PDI Perjuangan, Golkar dan Nasdem.
Partai pendukung pemerintah lainnya cenderung memilih opsi 10-15 persen, yakni PKB, PPP, Hanura, dan PAN. Selain empat partai tersebut, Gerindra dan PKS juga memilih opsi yang sama, yaitu 10-15 persen. Adapun Demokrat memilih opsi 0 persen.
Ketidakkompakan partai pemerintah dalam isu presidential threshold mengundang tanya salah satunya dari partai oposisi pemerintah, yakni Partai Demokrat.
Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menilai, perdebatan seharusnya bisa segera diakhiri jika partai pendukung pemerintah satu suara.
Sebab, jumlah partai pemerintah lebih banyak dari partai oposisi sehingga akan dengan mudah menang jika voting dilakukan.
"Ini aneh toh. Partai-partai pemerintah kan (bermasalah). Di hak angket begitu, di pemilu juga begitu. Lonely Jokowi ini," kata Benny di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/6/2017).
Sementara itu, Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy berharap semua pihak bisa menyepakati keputusan lewat musyawarah.
Penentuan keputusan lima isu krusial bisa kembali buntu atau deadlock jika setiap pihak saling tak mau mengalah. Hal itu berlaku tak hanya bagi fraksi-fraksi namun juga bagi Pemerintah.
"Bisa deadlock kalau semua pihak ngotot-ngototan," tuturnya.
Sindiran ketidakkompakan partai pemerintah bahkan datang dari menteri Kabinet Kerja sendiri, yaitu Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang selalu ikut dalam proses pembahasan RUU Pemilu.
Dalam hal ini, baru tiga partai pendukung pemerintah yang satu suara soal presidential threshold.
"Partai pendukung pemerintah saja enggak kompak," kata Tjahjo, Kamis lalu.
Ia bahkan sempat mengancam bahwa pemerintah akan menarik diri dalam pembahasan RUU Pemilu apabila usul soal presidential threshold tak disetujui mayoritas fraksi di DPR.
"Kalau tidak (disetujui) dengan sangat terpaksa pemerintah menolak untuk dilanjutkan pembahasannya. Menarik diri, ada dalam aturan undang-undang," ujar mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu.
Tjahjo menegaskan bahwa langkah pemerintah menarik diri dalam pembahasan suatu undang-undang ini sudah diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
(Baca: Pemerintah Ancam Menarik Diri jika "Presidential Threshold" Diubah)
Apabila pemerintah menarik diri, maka pembahasan suatu UU tidak bisa dilanjutkan. Pemilu 2019 mendatang pun harus diselenggarakan berdasarkan UU yang lama, yakni UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam UU tersebut, presidential threshold sebesar 20-25 persen, sama dengan keinginan pemerintah saat ini.
"Kita pakai UU yang lama. Hanya kemungkinan ada klausul agar mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa tahun 2019 pilpres dan pileg digelar serentak," ujar Tjahjo.
(Baca juga: Ancam Tarik Diri dari Pembahasan RUU Pemilu, Pemerintah Dianggap Tak Dewasa)