Ketiga, akselerasi pertumbuhan utang akan memperketat likuiditas domestik, yang secara langsung juga akan menambah represi pada pasar uang dalam negeri. Saat ini stabilitas sektor keuangan Indonesia tengah diuji dengan bertambahnya volatilitas pasar dan melemahnya kualitas aset perbankan.
Ketatnya likuiditas dan melemahnya kualitas aset perbankan bisa disimak, misalnya, dari terus menurunnya dana pihak ketiga di perbankan yang pertumbuhannya menurun dari kisaran di atas 20 persen per tahun menjadi hanya 5-6 persen, juga disimak dari rasio kredit bermasalah (nonperforming loan /NPL) perbankan yang terus merangkak naik dari kisaran rata-rata 1 persen menjadi di atas 3 persen.
Tambahan tekanan pada pasar uang selanjutnya akan berdampak pada stabilitas sektor keuangan, yang melalui efek transmisinya mengerek laju inflasi dan terdesak naiknya suku bunga sehingga bukan hanya stabilitas keuangan yang akan terganggu, tetapi juga penurunan suku bunga yang dihasilkan investment grade akan ternetralisasi.
Keempat, terkait dengan hal di atas, pembiayaan melalui peningkatan defisit juga akan menyebabkan terjadi ”efek ricardian” berupa substitusi tingkat konsumsi saat ini dengan tabungan. Substitusi ini dilakukan oleh konsumen untuk mengantisipasi kenaikan penerimaan negara di masa datang untuk menutupi peningkatan utang yang dilakukan saat ini. Kecuali pemerintah bisa memastikan bahwa penggunaan utang yang dikeluarkan akan sangat efektif, substitusi intertemporal pada konsumsi akan menekan laju pertumbuhan ekonomi.
(Baca juga: Jokowi Heran Pembangunan Infrastruktur Jadi Perdebatan di Masyarakat)
Mobilisasi keuangan sosial
Alhasil, pembiayaan pembangunan melalui peningkatan defisit anggaran bukanlah cara yang cerdas dalam menutupi kebutuhan pendanaan yang ada. Cara lain yang lebih mungkin dilakukan adalah mengintensifkan kerja sama dengan pihak swasta, baik dalam maupun luar negeri.
Sayang, dari data investasi yang ada, angka pembentukan modal dan investasi yang ada di Indonesia belum terlalu menggembirakan, terlepas dari berbagai perbaikan melalui paket kebijakan dan deregulasi yang dilakukan pemerintah. Hingga akhir 2016, tingkat pertumbuhan pembentukan modal tetap masih di bawah kisaran 5 persen, atau hanya sekitar separuh dari angka pertumbuhan di tahun sebelum lima tahun sebelumnya.
Bisa jadi, ada efek keterlambatan (lagging) dari berbagai penyederhanaan dan dipermudahnya berbagai kebijakan yang diambil pemerintah terhadap angka realisasi investasi ini, yang biasanya memang baru terlihat setelah 3-4 tahun dari diambilnya sebuah kebijakan. Namun, bisa jadi pula, masih kurang optimalnya investasi yang dilakukan swasta di Indonesia karena belum cukup tersedianya platform yang memadai yang bisa mempertemukan pihak yang memiliki kapital dengan pihak yang membutuhkan modal.
Salah satu potensi peningkatan investasi sektor swasta adalah melalui platform keuangan sosial (social finance), yang baru sedikit digarap secara optimal di Indonesia. Keuangan sosial adalah sebuah pendekatan untuk memobilisasi modal swasta yang memberikan bukan hanya keuntungan ekonomi, tetapi juga sosial dan lingkungan.
Memobilisasi modal swasta melalui keuangan sosial menciptakan peluang bagi investor untuk mengakses sumber dana baru untuk proyek-proyek yang memberi untung dan berdampak sosial. Potensi investasi keuangan sosial bisa dilihat dari akumulasi dana dimobilisasi dalam dua tahun terakhir yang berjumlah tidak kurang dari Rp 105 triliun (UNDP 2016, Overview of Social Finance in Indonesia).
Beberapa lembaga, seperti UNDP Indonesia, saat ini tengah menggalakkan keuangan sosial bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan dan beberapa investor yang tergabung dalam Angel Investor Indonesia. Pemerintah bisa mendorong akselerasi sektor lebih cepat dengan memberikan kelenturan dalam pengaturan dan dorongan berupa insentif peraturan.
Selain social finance, pemerintah juga bisa memanfaatkan beberapa dana lain yang tersedia, terutama bila terdapat kesamaan tujuan dalam pengumpulan dana itu dengan tujuan pembangunan yang digalakkan, terutama di bidang sosial dan kemanusiaan.
Pada titik ini, upaya untuk penyaluran dana zakat untuk program pembangunan kemanusiaan berkelanjutan yang tengah diupayakan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bekerja sama dengan UNDP patut mendapatkan dukungan dan didorong lebih lanjut. Tentu terdapat beberapa tantangan dalam pemanfaatan dana-dana yang bersifat keagamaan, seperti zakat untuk tujuan pembangunan berkelanjutan. Akan tetapi, hal itu bisa dijembatani melalui pemahaman yang tepat dan penyelarasan implementasi penggunaan dengan peraturan keagamaan (syariah) yang ada, serta transparansi dan pengawasan yang baik.
M Ikhsan Modjo,
Technical Advisor untuk Innovative Financing United Nations Development Programme Indonesia
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Tantangan Pembiayaan Pembangunan".