Alhasil, media daring ini menampilkan urutan cerita secara gamblang, mulai dari cara anggota DPRD memanggil seorang gadis, hingga setiap adegan yang dilakukan mereka di dalam mobil.
Begitu rincinya, sehingga berita media online itu tidak mirip dengan karya jurnalistik, namun lebih menyerupai bacaan kaum dewasa. Hal itu menjadi lebih parah dengan penambahan foto ilustrasi yang berpotensi mengusik syahwat pembaca.
Regulasi
Kasus media daring di Kalimantan Selatan itu bisa jadi hanya puncak dari gunung es jurnalisme syahwat. Jika mau ditelusuri, masih banyak media yang menempatkan seksualitas sebagai amunisi untuk meraup untung.
Selain eksploitasi di dalam berita, seksualitas juga ditampilkan sebagai bumbu-bumbu di media sosial. Modusnya biasanya adalah membuat narasi yang mengarah ke seksualitas dan mengunggahnya di media sosial. Pembaca mungkin familiar dengan narasi yang semacam itu.
Lalu, apa sebenarnya hukum yang bisa diterapkan bagi media mengumbar syahwat? Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur hal itu dengan sangat gamblang.
Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Sementara itu, Pasal 18 undang-undang yang sama menyatakan bahwa perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) bisa dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Hukum untuk menjaga kualitas konten jurnalistik sebenarnya cukup memadai. Selain Undang-Undang Pers, jurnalis sebenarnya juga dipagari oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Pasal 4 KEJ jelas-jelas melarang wartawan Indonesia untuk membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Kata “cabul” menurut aturan itu diartikan sebagai “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi”.
Publik, Dewan Pers, dan asosiasi
Perbaikan fungsi pemantauan sepertinya menjadi senjata andalan jika perubahan tabiat media sudah tidak mungkin lagi diharapkan. Tentu saja tidak semua media daring memiliki tabiat buruk dengan mengumbar seksualitas.
Namun, harus diskusi, beberapa media justru menggunakan jurus seksualitas untuk meraup untung.
Fungsi pemantauan media ini sebaiknya dilakukan di tiga level sekaligus, yaitu publik, Dewan Pers, dan asosiasi.