Oleh karena jika tidak, bisa menjadi bumerang bagi pemerintahan dan pematangan demokrasi. Kita jangan sedikitpun mengkhianati amanat reformasi dengan menariknya mundur lagi.
Demokrasi sebagai buah dari reformasi telah membuka kran partisipasi masyarakat di banyak sektor kehidupan, termasuk kebebasan untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, dan mendirikan organisasi/ perkumpulan.
Demokrasi telah menumbuhkan aktor-aktor non-negara (non state actors) yang mempunyai pengaruh dan legitimasi sosial di masyarakat dan kelompoknya. Umumnya mereka memakai basis keagamaan, suku, dan etnisitas, karena cara ini yang paling mudah menarik emosi massa.
Di satu sisi, hal ini tentu positif, karena tercipta ruang-ruang baru bagi berbagai kelompok masyarakat untuk berekspresi dan mengukuhkan identitasnya. Namun di sisi yang lain, primordialisme berbasis suku, etnis, dan agama kembali menguat yang jika dibiarkan akan bisa menyerang ibunya sendiri, yaitu demokrasi.
Alih-alih mencerdaskan masyarakat, pemakaian isu SARA merupakan upaya pembodohan masyarakat secara sistematis.
Taati prosedur hukum
Reformasi sudah berusia 19 tahun, namun kita masih jauh dari demokrasi yang terkonsolidasi. Kita masih dalam tahap demokrasi formalitas dan prosedural, yang miskin substansi.
Partai politik dan organisasi massa tumbuh bak cendawan di musim hujan, namun bukan untuk memberdayakan dan mengukuhkan hak-hak masyarakatnya. Tetapi, hanya dipakai untuk meraih kekuasaan dan alat bargaining ekonomi-politik dengan penguasa dan pengusaha.
Pada sisi yang lain, kewenangan negara semakin terkuras dan terdistribusi ke banyak aktor-aktor negara yang satu sama lain bukannya saling bersinergi, namun bersaing menunjukkan kewenangannya.
Presiden tidak bisa lagi menjadi “penguasa” tunggal karena segala keputusan dan kebijakannya harus melalui proses hukum dan negosiasi politik yang melibatkan aktor-aktor negara yang lain.
Dalam kasus pembubaran organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), langkah pemerintah harus melalui prosedur dan mekanisme hukum sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Tentang Ormas dan menghormati prinsip-prinsip dasar HAM, yaitu kebebasan untuk berekspresi dan berserikat.
Langkah ini meskipun akan membutuhkan waktu dan energi, harus ditempuh karena kita sudah bersepakat untuk menjunjung tinggi HAM dan demokrasi yang disebut secara tegas di dalam Konstitusi. Hal ini agar keputusan nantinya mendapatkan legitimasi hukum, sosial, dan politik.
Tujuan dari reformasi yaitu terwujudnya demokrasi yang terkonsolidasi, masih jauh. Kita bertanggung jawab untuk menjaga amanat dan semangat reformasi yang diperoleh dengan darah mahasiswa dan pengorbanan ribuan rakyat agar tidak salah arah atau gagal mencapai tujuan.
Instruksi “gebuk” Presiden Jokowi jangan sampai menarik mundur pencapaian reformasi ke belakang. Namun harus sebaliknya, yaitu mengembalikan reformasi pada rel yang benar.
Agar kedaulatan benar-benar di tangan rakyat, bukan di tangan kelompok-kelompok oligarki politik dan primordial yang bercokol hanya untuk mempertahankan kepentingannya dengan mempergunakan basis SARA untuk kembali berkuasa. (Mimin Dwi Hartono, staf senior Komnas HAM, pendapat pribadi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.