Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/04/2017, 20:44 WIB

oleh: Refly Harun

Sudah terbilang hampir satu bulan trio Oesman Sapta, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis duduk di singgasana tampuk pimpinan Dewan Perwakilan Daerah.

Meski prosesnya dinilai banyak orang ilegal, setidaknya dalam kacamata ahli hukum tata negara yang terhimpun dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), gonjang-ganjing tentang pemilihan itu mulai meredup. Publik mulai amnesia dengan kesewenang-wenangan pemilihan pimpinan DPD tersebut. Pimpinan yang legal mulai dilupakan.

Padahal jelas, tidak ada argumentasi hukum yang dapat membenarkannya. Hal ini menjadi alarm bagi negara hukum Indonesia, bagaimana mungkin sebuah lembaga negara menginjak-injak hukum, tanpa ada perlawanan dari pihak-pihak yang dipinggirkan, demikian juga dari publik.

Agar tidak terjadi amnesia berkepanjangan, tulisan ini dimaksud untuk merekonstruksi kasus pemilihan pimpinan DPD tersebut berikut alternatif penyelesaian kasus, sekaligus mendorong pihak-pihak yang dipinggirkan (terutama pimpinan yang sah) untuk menempuh jalur legal-konstitusional agar tidak ada pembiaran terhadap pelanggaran hukum yang luar biasa tersebut.

Etis dan yuridis

Gonjang-ganjing pembatasan jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun sudah mencuat sejak 2015, tidak lama setelah trio Irman Gusman, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad terpilih sebagai pimpinan DPD periode 2014-2019. Pemicunya, antara lain, ketidakpuasan terhadap kinerja Irman Gusman sebagai Ketua DPD, yang terpilih untuk kedua kalinya setelah sebelumnya menjabat pada periode 2009-2014. Irman juga menjadi Wakil Ketua DPD periode 2004-2009. Bisa dibilang, ia satu-satunya pimpinan lembaga negara yang terpilih berkali-kali.

Betapapun tidak sukanya sebagian anggota DPD terhadap kepemimpinan Irman, memotong masa jabatan dari lima tahun menjadi 2,5 tahun sangat tidak etis. Ketika seseorang menjabat, hal yang paling jamak diketahui adalah berapa lama ia akan menjabat, yang kemudian diterjemahkan ke dalam suatu surat keputusan. Berapa lama menjabat tersebut didasarkan pada aturan yang sebelumnya memang sudah ada.

Tata Tertib (Tatib) DPD Nomor 1 Tahun 2014, yang berlaku pada saat pemilihan Oktober 2014, menyatakan masa jabatan pimpinan DPD sama dengan masa keanggotaan DPD (lima tahun). Berdasarkan ketentuan inilah pimpinan DPD dipilih sehingga otomatis mereka menjabat hingga 2019. Sangat tidak etis ketika masa jabatan tersebut dipotong di tengah jalan melalui rekayasa perubahan tatib.

Seandainya perubahan tatib yang membatasi masa jabatan hendak diberlakukan, hal tersebut seharusnya diberlakukan pada periode ke depan (setelah 2019). Atau kalaupun ingin dipaksakan, yang menurut saya tetap saja tidak etis, aturan tersebut tidak diberlakukan surut (nonretroaktif). Apabila tatib 2,5 tahun disepakati tahun 2016, masa jabatan seharusnya berakhir pada 2018 meski hal ini akan membuat sisa masa jabatan pimpinan pengganti tinggal satu tahun. Yang paling benar memang tidak membatasi jabatan di tengah jalan.

Bayangkanlah jika tiba-tiba para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersepakat untuk mengubah ketentuan UUD 1945 tentang masa jabatan presiden, dari lima tahun menjadi 2,5 tahun, lalu menerapkan hal tersebut pada masa jabatan Presiden Joko Widodo. Sudah tentu akan terjadi turbulensi politik, yang bukan tidak mungkin akan memicu konflik serius.

Kendati tidak etis, pembatasan tersebut tetap disepakati tahun 2016 melalui Tatib No 1 Tahun 2016, kemudian diubah menjadi Tatib No 1 Tahun 2017 agar masa jabatan tersebut bisa diberlakukan secara surut (retroaktif). Akibatnya, masa jabatan Irman Gusman, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad dinyatakan berakhir per 1 April 2017. Irman Gusman bahkan harus mengakhiri masa jabatannya lebih awal karena diberhentikan sebagai Ketua DPD menyusul operasi tangkap tangan tahun 2016. Posisinya digantikan Mohammad Saleh, yang "dipaksa" menjabat hanya untuk beberapa bulan.

Betapa sebagian anggota DPD menjadi sudah tidak rasional, tidak saja tidak etis, dalam isu pemotongan masa jabatan. Isu retroaktif inilah yang antara lain menyebabkan tatib pemotongan masa jabatan dibatalkan Mahkamah Agung (MA), selain argumen inti bahwa pemotongan masa jabatan bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Putusan MA yang membatalkan baik Tatib No 1 Tahun 2016 maupun Tatib No 1 Tahun 2017 dikeluarkan pada tanggal 29 Maret 2017. Sebagai tindak lanjut dari putusan MA, pada 31 Maret, pimpinan DPD mencabut kedua tatib yang telah dibatalkan sesuai dengan amar putusan MA.

Dengan pembatalan oleh MA dan tindak lanjut pencabutan tatib oleh pimpinan DPD, maka baik Tatib No 1 Tahun 2016 maupun Tatib No 1 Tahun 2017 sudah tidak berlaku lagi dan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil tindakan hukum apa pun. Bersamaan dengan itu pula berlaku kembali Tatib No 1 Tahun 2014 yang antara lain mengatur masa jabatan pimpinan DPD sama dengan periode keanggotaan DPD (lima tahun).

Halaman:


Terkini Lainnya

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com