Apa yang diperoleh garwo selir yang umumnya berasal dari desa? Mungkin terangkat citra sosial sanak keluarganya di desa (lihat: Pramudya Ananta Toer, Gadis Pantai, 2003) atau pengabdian pada keluarga ningrat sudah dianggap anugerah. Bagaimanakah Kartini melihat persoalan ini? Boleh jadi dia dekat dengan ibu kandungnya, tetapi sebutan "ibu" dalam surat-suratnya dimaksudkan untuk garwo padmi.
Maka, yang perlu dihayati adalah kekalahan RA Kartini dan ibu kandungnya dalam realitas empiris, yaitu tentang kehidupan perempuan desa yang dijadikan batu umpak bagi kehormatan ekstravaganza keluarga ningrat.
Kekalahan Kartini dalam realitas empiris disempurnakan dengan kematiannya. Dia meninggal pada usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan. Namun, Kartini meraih kemenangan dalam realitas media sekaligus bahagia di dalamnya. Intelektualitasnya terekam dan abadi untuk menjadi sumber nilai bagi generasi demi generasi.
Mengenang Kartini seorang cendekia dalam media dapatkah kita bandingkan dengan hirukpikuk orang bermedia kini? Dia, yang menulis dengan pena, berpikir sejuk, dengan pengembaraan dalam perspektif intelektualitas membahas masalah bangsanya. Ia bermedia tak dipicu impuls kemarahan dan kebencian. Bandingkan dengan orang bermedsos daring kini yang mencerminkan kemerosotan intelektualitas dan membuncahnya psikopatologis di kalangan orang berpendidikan tinggi.
Ashadi Siregar
Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Menang dan Bahagia dalam Media".