Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/04/2017, 05:57 WIB

oleh: Saurip Kadi

Kalah menang dalam pemilu bukanlah akhir dari segalanya seperti dalam perang. Sebab, pemilu tak lebih hanyalah sarana untuk menghitung jumlah pendukung atau pemilih bagi masing-masing kontestan. Seusai pemilu, kehidupan akan kembali seperti sebelumnya. 

Munculnya sedikit ketegangan sosial dan bahkan kekhawatiran serta rasa waswas akan terjadi kerusuhan sosial menjelang Pilkada DKI sama sekali bukan karena rakyat Jakarta belum siap berdemokrasi. Akan tetapi, lebih karena kepentingan kelompok tertentu yang menunggangi agenda Pilkada DKI.

Ditilik dari agenda yang mereka gulirkan dan tokoh yang terlibat dalam upaya memanaskan suhu politik Jakarta tidak lepas dari rekayasa sosial untuk memunculkan kerusuhan sosial dengan target optimal jatuhnya  pemerintahan Jokowi. Karena hanya cara itulah, mereka bisa selamat dan lepas dari pertanggungjawaban hukum atas kejahatannya di masa lalu.

Kelompok lain yang berkepentingan adalah mereka yang hendak mengembangkan paham "kilafah" untuk pada saatnya kelak mengganti dasar negara Pancasila. Sinergi dua kepentingan menjadi efektif karena isu yang dikembangkan menyangkut keyakinan agama dan sentimen etnis yang terkait dengan kesenjangan yang begitu menganga yang nyata dan benar adanya.

Berebut menjadi pelayan rakyat

Pilkada DKI telah usai. Sepatutnya kita mengucapkan selamat kepada penduduk DKI yang telah berhasil memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan. Kepada gubernur dan wakil gubernur DKI terpilih, kita ucapkan selamat bekerja, semoga saja kelak tidak ingkar terhadap kontrak sosial yang telah disampaikan dalam kampanye lalu.

Dalam demokrasi, para pejabat pemerintah sudah barang tentu mendapat upah dengan sebutan gaji atau upah dan juga fasilitas seperti kendaraan dan perumahan. Kita juga tahu, di mana pun mereka yang menerima upah disebut pegawai, buruh, karyawan, atau panggilan lainnya yang tugasnya melayani majikan. Sebaliknya, mereka yang membayar upah disebut  sebagai majikan, juragan, atau bos.

Dan, karena uang yang digunakan untuk membayar upah tersebut adalah dari pajak rakyat, maka di negara demokrasi rakyat diposisikan sebagaimana layaknya majikan. Mereka dihargai atau dihormati oleh para pelayannya, tak peduli sebutan mereka adalah lurah, bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, atau presiden sekalipun.  

Kesadaran bahwa dirinya tak lebih adalah pelayan rakyat bagi segenap pejabat negara, terutama bagi gubernur dan wakil gubernur terpilih DKI Jakarta, menjadi utama agar ke depan tidak ada lagi perlakuan kasar apalagi tidak senonoh oleh sang  pelayan terhadap majikannya, yaitu rakyat, siapa pun ia.

Siapa pun tak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga dari etnis mana pun. Pada milenium ke-21, rasanya naif kalau kita masih ribut soal etnis. Tetapi, kita tidak boleh membohongi diri bahwa di masyarakat luas ada masalah yang serius terkait etnis Tionghoa. Kita harus jujur mengakui bahwa di masa lalu ada kebijakan negara yang "keliru" sehingga kini muncul jurang kesenjangan yang begitu menganga akibat penguasaan alat produksi dan sumber daya nasional oleh segelintir pengusaha yang kebetulan didominasi keturunan Tionghoa.

Persoalan menjadi lebih serius karena dalam praktiknya beberapa pengusaha papan atas dari etnis Tionghoa terlibat dalam kejahatan penjarahan kekayaan negara seperti yang terjadi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), korupsi, dan kejahatan ekonomi lainnya, termasuk juga soal narkoba.

Praktik oligarki kekuasaan, maraknya mafia di banyak aspek kehidupan, termasuk di lingkungan lembaga pengadilan, kartel, kriminalisasi, capital violence, dan bahkan terorisme oleh negara (state terrorism) tidak terlepas dari peran mereka juga. Namun, kita juga harus jujur mengakui bahwa keterlibatan mereka dalam berbagai kejahatan tersebut juga karena perlindungan, persekongkolan, kolaborasi, dan bahkan alat dari oknum penguasa dan juga rezim.

Kita tahu bahwa beberapa ratus pemilik tanah, tambang , dan atau hutan dengan luas berpuluh ribu, beratus ribu, dan bahkan ada yang berjuta hektar sebagian besar juga pengusaha keturunan Tionghoa. Dalam praktiknya mereka justru tega mengusir penduduk setempat yang telah turun-temurun tinggal di situ, tetapi terkalahkan oleh "lisensi". Dan, mustahil untuk mendapatkan "lisensi" atas lahan yang begitu luas dengan gratisan alias cuma-cuma. Praktik titip saham atau komisi adalah hal lazim di negeri ini.

Hikmah yang bisa dipetik

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com