JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indoensia rupanya belum sepenuhnya patuh terhadap ketentuan perundang-undangan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengakumulasi bahwa bentuk ketidakpatuhan itu adalah mencapai Rp 19,48 triliun.
"Dari total ketidakpatuhan itu, yang berdampak ke finansial itu senilai Rp 12,59 triliun dan yang jelas-jelas merugikan negara senilai Rp 1,37 triliun," ujar Ketua BPK Harry Azhar di depan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/4/2017).
Harry sekaligus melaporkan temuan tersebut kepada Presiden Joko Widodo. Temuan kerugian negara itu sendiri terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2016.
IHPS itu merupakan ringkasan dari 604 Laporan Hasil Pemeriksaan yang meliputi pemerintah pusat (kementerian), pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan BUMN.
Harry tidak menjelaskan secara rinci lembaga atau entitas badan usaha mana yang kebijakannya menuai kerugian negara. Namun, Harry hanya menjelaskan bentuk-bentuk ketidakpatuhan kementerian, pemerintah daerah, BUMD dan BUMN terhadap peraturan.
"Permasalahan yang perlu mendapat perhatian, misalnya Wajib Pungut Pajak Pertambahan Nilai (WP PPN) pada empat KPP (Kantor Pelayanan Pajak) itu besar sekali indikasinya belum menyetorkan PPN sebesar Rp 910,06 miliar," ujar Harry.
Selain itu, banyak pula WP PPN yang terlambat menyetorkan PPN. Total nilai sanksinya sebesar RP 117,70 miliar.
Ada pula temuan piutang macet yang berpotensi tak tertagih sebesar Rp 1,85 triliun pada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Piutang itu mengenai hak penggunaan frekuensi.
Contoh temuan terakhir, adanya pengenaan tarif biaya pendidikan dan sewa barang milik negara pada Perguruan Tinggi Agama Negeri yang ternyata belum mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan sehingga tidak punya landasan hukum yang kuat. Atas sejumlah temuan itu, BPK meminta Presiden Jokowi untuk menindaklanjutinya.
"Kami minta kepada Presiden untuk menindaklanjuti apa-apa saja yang kami (BPK) rekomendasikan," ujar Harry.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.