Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Pilih Saldi Isra sebagai Hakim MK Gantikan Patrialis Akbar

Kompas.com - 08/04/2017, 10:34 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo memilih Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, sebagai hakim konstitusi menggantikan Patrialis Akbar. 

Seperti diketahui, Patrialis ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi lantaran tersangkut kasus dugaan suap.

Informasi terpilihnya Saldi disampaikan Ketua Panitia Seleksi hakim MK Harjono

"Saya sedang di Surabaya. Tapi yang jelas hari Selasa (11/4/2017), saya diundang lewat WhatsApp oleh Setneg untuk pelantikan. Dan saya tanyakan siapa yang dilantik, Saldi Isra katanya," kata Harjono saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (8/4/2017).

Saldi menempati peringkat pertama seleksi calon hakim MK. Dia menyisihkan dosen Universitas Nusa Cendana Bernard L Tanya dan Wicipto Setiadi, pensiunan Kementerian Hukum dan HAM.

(Baca: Tiga Calon Hakim MK Diserahkan ke Jokowi, Saldi Isra Urutan Pertama)

Harjono mengatakan, peringkat tersebut merupakan nilai akumulasi dari berbagai macam tes.

Antara lain, karya tulis analisis hasil putusan MK, wawancara, dan penelusuran rekam jejak.

Dari sisi karya tulis putusan MK, Harjono menuturkan Saldi memiliki nilai tinggi dibandingkan calon hakim lainnya.

"Penilaian kami komparasikan, kami uji dengan beberapa tes lalu masing-masing pansel memberi nilai. Dikumpulkan nilai itu dari integritas, pengalaman, pemahaman UUD, lahirlah ranking itu," ujar Harjono.

(Baca: Peringkat Pertama Seleksi Calon Hakim MK, Ini Komentar Saldi Isra)

Saldi Isra yang lahir di Solok, Sumatera Barat, 20 Agustus 1968, dikenal sebagai pakar hukum tata negara. Dia kerap dimintai analisis dan pendapat oleh pemerintah.

Putra dari pasangan Ismail dan Ratina ini meraih gelar sarjananya dari Universitas Andalas, master dari Universitas Malaya, Malaysia dan doktor dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Kompas TV Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil ketua dan anggota hakim Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa sebagai saksi, terkait kasus yang menjerat Patrialis Akbar. Pemeriksaan para hakim konstitusi dilakukan untuk mengetahui peran dan posisi hakim konstitusi dalam memutus perkara yudicial review. Untuk pemeriksaan Kamis (16/2) pagi, KPK memanggil Ketua MK Arief Hidayat. Selain Ketua MK, dua hakim lain yang ikut memutus perkara judicial review undang-undang nomor 41 tahun 2014, tentang peternakan dan kesehatan hewan. Judicial review ini jadi alasan suap yang menjerat mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.


 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com