Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MoU KPK, Kejagung, dan Polri Tak Boleh Bertentangan dengan UU

Kompas.com - 29/03/2017, 20:49 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani berpendapat, harus ada jaminan bahwa nota kesepahaman yang diteken Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung tak mereduksi kewenangan masing-masing lembaga.

Ia menekankan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, nota kesepahaman tak termasuk sumber hukum.

Dengan demikian, nota kesepahaman yang dibuat tak bertentangan dengan aturan penegakan hukum yang diatur dalam undang-undang.

"Prinsip yang harus dipegang, tidak boleh sebuah MoU mereduksi, mengurangi, atau bahkan melanggar aturan penegakan hukum yang diatur dalam undang-undang," ujar Arsul, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2017).

"Karena kalau dia melanggar, berarti MoU itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini undang-undang," lanjut dia.

(Baca: Perbarui MoU, Ini Hal yang Disepakati KPK, Polri dan Kejagung)

Arsul mencontohkan, terkait penggeledahan personel penegak hukum yang diduga terkait kasus hukum.

Dalam MoU ketiga lembaga disebutkan bahwa penggeledahan harus diberi tahu kepada pimpinan personel.

Jika pemberitahuan tersebut memberikan kewenangan kepada pemberi izin untuk menolak penggeledahan, maka poin tersebut tak bisa diberlakukan.

"Itulah yang tidak sesuai undang-undang. Karena itu berarti mereduksi atau membentur dari maksud undang-undang," kata Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.  

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan Kejaksaan Agung memperbarui nota kesepahaman mengenai penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi.

Ada 15 Pasal yang tercantum dalam nota tersebut.

(Baca: Nota Kesepahaman KPK, Polri, dan Kejaksaan Jangan Jadi Upaya Saling Melindungi)

Dalam MoU ini, sinergi tiga lembaga penegak hukum itu makin diperkuat dalam penanganan kasus korupsi.

Khususnya, terkait pertukaran data dan informasi mengenai kasus-kasus yang ditangani tiga lembaga itu.

Dalam nota tersebut, ada penambahan kesepakatan soal Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) berbasis elektronik.

Selama ini, SPDP dikirim secara manual dan bisa menghabiskan waktu lebih banyak.

Pada Pasal 3 poin 5 pada MoU tersebut, diatur juga soal pemeriksaan anggota dari salah satu penegak hukum oleh lembaga penegak hukum lain.

Mereka sepakat adanya pemberitahuan kepada pimpinan personel yang diperiksa sebagai saksi dan adanya pendampingan hukum.

Padahal, dalam undang-undang diatur bahwa pemeriksaan saksi tidak boleh didampingi oleh penasihat hukum.

Ada pula kesepakatan soal penggeledahan personel penegak hukum yang diduga terkait kasus hukum. Pimpinan personel itu juga harus diberitahu soal penggeledahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com